Lewoleba - Balai Pemantauan Gunung api dan Mitigasi Bencana Gerakan Tanah (BPGMBGT) Wilayah Nusa Tenggara mengingatkan masyarakat pada 22 kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mewaspadai potensi pergerakan tanah, khususnya pada musim hujan saat ini.
"Masyarakat yang bermukim di daerah rawan harus selalu waspada terhadap potensi gerakan tanah, terutama pada saat hujan dan setelah hujan turun, karena masih berpotensi terjadinya gerakan tanah susulan," kata Kepala BPGMBGT Wilayah Nusa Tenggara, Zakarias Ghele Raja, dari Flores Timur, Kamis.
BPGMBGT Wilayah Nusa Tenggara, kata dia, telah memetakan wilayah-wilayah dengan potensi gerakan tanah.
Dari 22 kabupaten di NTT, lanjutnya, terdapat 14 kabupaten yang memiliki potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi yakni Kabupaten Belu, Ende, Flores Timur, Kupang, Manggarai, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Nagekeo, Ngada, Sikka, Sumba Tengah, Sumba Timur, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara.
Zakarias mengatakan pada daerah dengan potensi menengah dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan.
Sedangkan pada zona dengan potensi tinggi dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Dengan adanya pemetaan potensi gerakan tanah, BPGMBGT memberikan rekomendasi agar masyarakat tidak mendirikan bangunan pada jarak yang terlalu dekat dengan tebing.
Selain itu, kata dia, tidak boleh mengembangkan permukiman mendekat ke arah lereng atau alur air, serta tidak mengembangkan lahan basah seperti kolam penampungan air di sekitar pemukiman. "Untuk menghindari pelunakan dan pembebanan agar tidak membebani lereng yang dapat memicu gerakan tanah," katanya.
Pada daerah-daerah dengan potensi gerakan tanah, Zakarias mengimbau adanya dinding penahan tebing, lalu pelestarian vegetasi berakar kuat dan dalam di daerah berlereng.
Selain itu, menurutnya, para pemangku kepentingan baik di desa atau kecamatan harus memerhatikan regulasi tentang jarak aman pemukiman terhadap tebing dan sempadan sungai, sehingga kegiatan pembangunan mengikuti dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
Menurut Zakarias, gerakan tanah dipengaruhi oleh faktor pengontrol dan pemicu dengan tanda-tanda yang dapat dikenali.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu peningkatan kapasitas masyarakat, termasuk penumbuhan pola pikir sadar bencana dan sadar lingkungan, yang menjadi ujung tombak keberhasilan mitigasi bencana pada masa datang, selain pembatasan eksploitasi lingkungan yang berlebihan.
"Daerah rawan bencana gerakan tanah bukan berarti tidak boleh dihuni, namun dalam penataan ruang harus sesuai dengan karakteristik gerakan tanah dan kondisi geologi setempat," ucapnya.