Etika Profesi: Pilar Utama dalam Pembentukan Generasi Berkualitas

Kamis, 27 Juni 2024 19:45 WIB | 134 kali
Etika Profesi: Pilar Utama dalam Pembentukan Generasi Berkualitas

Oleh: Ulia Asyhari, Viki Rahmawati Yorenza Meifinda, M.Pd | Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

Pendidikan karakter merupakan hal yang tak relepaskan dalam upaya menghadapi berbagai tantangan pergeseran karakter yang terjadi saat ini. Tujuan pendidikan karakter adalah mengembangkan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang baik dan buruk, memelihara kebaikan, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Koesoema, 2007 Muslich, 2011; Zainal, 2011). Memasuki abad ke-21, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan peluang yang berbeda dari masa-masa sebelumnya. 

UNTUK mengantisipasi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika perubahan yang sedang dan akan terus berlangsung di abad ke-21 ini, bangsa Indonesia harus semakin mengasah kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi setiap revolusi dalam pendidikan (Koesoema, 2007 Sulistiwati, 2012, Slamet, 2014). 

Selaras dengan prinsip-prinsip dalam revolusi pembelajaran, proses pembelajaran seharusnya berpijak pada pilar-pilar: pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (Hewitt, 2008, Hasan, Othman & Majzub, 2015). Pembelajaran juga harus berlandaskan pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO belajar untuk mengetahui, belajar untuk melakukan, belajar untuk menjadi, dan belajar untuk hidup bersama (Delors et al. 1996 Burnett, 2008).

Di tengah arus global Revolusi Industri 4.0, etika profesi menjadi topik yang banyak diperbincangkan. Setiap profesi di masyarakat memiliki standar etika yang berbeda sesuai dengan bidangnya masing-masing.
 
Penerapan etika profesi sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat untuk membentuk generasi berkualitas di era milenial. Guru atau pendidik merupakan profesi yang mulia di masyarakat, karena mereka adalah ujung tombak dalam perbaikan generasi berikutnya. Etika profesi keguruan sangat penting untuk dipahami dan diterapkan sebagai dasar tindakan pendidik di sekolah. 

Etika profesi menuntut agar pendidik bekerja tanpa pamrih dan mengikuti pedoman yang harus ditaati oleh anggota profesi untuk mencegah penyalahgunaan. Pendidikan karakter akan berjalan dengan baik jika peran guru sebagai pelaksana dalam proses pendidikan mendapat perhatian yang memadai. 

Sebagai jembatan menuju masa depan generasi muda, pendidikan dapat dibangun melalui optimalisasi peran guru dalam mendidik, mengajar, dan melatih siswa. Profesi guru adalah profesi yang mulia; mereka adalah ujung tombak dalam membentuk generasi muda. 

Seringkali profesi guru dianggap kurang prestisius dibandingkan dengan profesi dokter, padahal guru memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kecerdasan generasi muda, baik itu kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), maupun spiritual (SQ). 

Di era Industri 4.0, siswa sudah sangat akrab dengan teknologi, termasuk media sosial. Banyak siswa menjadikan artis dadakan yang muncul di media sosial sebagai panutan. Namun, panutan di media sosial tidak selalu positif. Banyak konten tidak mendidik justru menjadi panutan bagi siswa masa kini. 

Guru sebagai pendidik di era Revolusi Industri 4.0 harus sadar bahwa media sosial adalah teman akrab siswa, sehingga perilaku guru dalam menggunakan media sosial dan teknologi menjadi salah satu bentuk modeling yang paling efektif untuk dilihat dan ditiru oleh siswa. 

Bagaimana sih solusi yang harus dihadapi oleh guru untuk menghadapi siswa yang kecanduan media sosial? 

Di era digital saat ini, kecanduan media sosial di kalangan siswa menjadi tantangan serius bagi dunia pendidikan. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi dan sumber informasi, sering kali menjadi sumber gangguan yang mengurangi konsentrasi belajar dan menurunkan prestasi akademik siswa. 

Guru, sebagai ujung tombak pendidikan, harus mampu menghadapi tantangan ini dengan bijaksana dan efektif. Berikut adalah beberapa solusi yang dapat diterapkan oleh guru untuk mengatasi masalah kecanduan media sosial di kalangan siswa.

1. Edukasi tentang Dampak Negatif dan Positif Media Sosial
Guru perlu meningkatkan kesadaran siswa tentang dampak negatif kecanduan media sosial, seperti penurunan konsentrasi, gangguan tidur, dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi. 

Selain itu, penting juga untuk menunjukkan sisi positif media sosial sebagai alat pembelajaran yang produktif. Melalui diskusi kelas atau seminar, siswa bisa diajak untuk memahami bagaimana menggunakan media sosial dengan bijak.

2. Inklusikan Media Sosial dalam Pembelajaran.
Mengintegrasikan media sosial dalam proses pembelajaran dapat menjadi solusi efektif. Guru dapat membuat grup kelas di platform media sosial untuk berbagi materi pelajaran, tugas, dan diskusi. Dengan cara ini, siswa dapat melihat manfaat positif media sosial dalam konteks pendidikan, bukan hanya sebagai sarana hiburan semata.

3. Bimbingan dan Konseling
Kerjasama antara guru dan konselor sekolah sangat penting untuk memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang menunjukkan tanda-tanda kecanduan media sosial. Sesi satu lawan satu atau grup dukungan bisa membantu siswa mengelola waktu mereka dengan lebih efektif dan mengatasi masalah kecanduan.

4. Pembatasan Penggunaan di Kelas Guru harus menetapkan aturan yang jelas mengenai penggunaan media sosial di dalam kelas.

Misalnya, larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran kecuali untuk tujuan pendidikan. Kesepakatan bersama antara guru dan siswa tentang waktu penggunaan media sosial dapat membantu mengurangi gangguan selama proses belajar mengajar.

5. Peningkatan Kegiatan Ekstrakurikuler
Mengajak siswa terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, seni, atau klub hobi dapat mengurangi waktu yang dihabiskan di media sosial. Kegiatan-kegiatan ini juga membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial dan minat lain yang bermanfaat, sehingga mereka tidak terlalu bergantung pada media sosial untuk mendapatkan kepuasan atau pengakuan.

6. Pendidikan Literasi Digital
Guru harus memberikan pendidikan tentang literasi digital yang mencakup cara menggunakan media sosial secara bijak, keamanan online, dan etika digital. Ini membantu siswa memahami bagaimana menggunakan teknologi secara bertanggung jawab dan menghindari konten negatif yang tidak mendidik.

7. Kolaborasi dengan Orang Tua
Melibatkan orang tua dalam upaya mengatasi kecanduan media sosial sangat penting. Guru bisa mengadakan pertemuan atau workshop untuk memberikan wawasan tentang cara mengatur penggunaan media sosial di rumah dan pentingnya pengawasan orang tua. Kerjasama yang baik antara guru dan orang tua dapat memperkuat upaya dalam mengendalikan kecanduan media sosial.

8. Pemodelan Perilaku Positif
Guru harus menjadi contoh dalam penggunaan media sosial. Dengan menunjukkan penggunaan media sosial yang positif dan bertanggung jawab, siswa akan belajar meniru perilaku tersebut. Guru dapat mengunggah konten edukatif dan inspiratif yang bisa menjadi panutan bagi siswa.

9. Penggunaan Aplikasi Pengelolaan Waktu
Guru dapat mengajarkan siswa menggunakan aplikasi pengatur waktu layar (screen time) untuk memantau dan membatasi waktu yang dihabiskan di media sosial. Penggunaan teknologi ini bisa membantu siswa lebih disiplin dalam mengatur waktu mereka.

10. Kegiatan Interaktif di Kelas
Meningkatkan kegiatan interaktif dan kolaboratif di kelas dapat membuat siswa lebih terlibat dan tertarik pada pelajaran, sehingga mengurangi ketergantungan pada media sosial. Metode pembelajaran aktif, seperti diskusi kelompok dan proyek bersama, bisa menjadi alternatif menarik yang mengalihkan perhatian siswa dari media sosial.

Dengan menerapkan berbagai solusi ini, guru dapat membantu siswa mengatasi kecanduan media sosial dan mengembangkan kebiasaan digital yang sehat. Tantangan ini membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif antara guru, siswa, dan orang tua. 

Hanya dengan kerjasama yang baik, kita bisa memastikan bahwa generasi muda kita mampu memanfaatkan teknologi dengan bijak dan tetap fokus pada tujuan pendidikan mereka.

Guru dapat mengunggah atau mempublikasikan karya-karya dalam bidang pendidikan atau nonpendidikan untuk memberikan contoh yang baik bagi siswa. 

Guru juga harus bisa menggunakan teknologi masa kini untuk memberikan arahan kepada siswa. Selain itu, guru harus dapat mendorong siswa agar lebih kreatif dan inovatif di era milenial/Revolusi Industri 4.0 dengan cara menggunakan teknologi secara bijak dan tepat guna. 

Pendidikan karakter adalah aspek yang tak terpisahkan dalam menghadapi perubahan karakter yang terjadi saat ini. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kemampuan membuat keputusan yang baik, memelihara kebaikan, dan mewujudkan kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 

Di era abad ke-21, pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan peluang baru. Untuk mengantisipasi dinamika perubahan, bangsa Indonesia perlu meningkatkan kemampuan untuk menghadapi revolusi dalam pendidikan.

Prinsip-prinsip revolusi pembelajaran menekankan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, serta berlandaskan pada empat pilar pendidikan menurut UNESCO.

Di tengah arus global Revolusi Industri 4.0, etika profesi menjadi topik penting yang perlu diperbincangkan. Penerapan etika profesi, khususnya dalam profesi keguruan, sangat penting untuk membentuk generasi berkualitas di era milenial. 

Guru memegang peranan penting dalam membentuk karakter generasi muda, namun mereka dihadapkan pada tantangan baru, termasuk kecanduan media sosial siswa. 

Untuk menghadapi masalah ini, guru dapat menerapkan solusi seperti edukasi tentang dampak media sosial, inklusi media sosial dalam pembelajaran, bimbingan dan konseling, pembatasan penggunaan di kelas, peningkatan kegiatan ekstrakurikuler, pendidikan literasi digital, kolaborasi dengan orang tua, pemodelan perilaku positif, penggunaan aplikasi pengelolaan waktu, dan kegiatan interaktif di kelas. 

Dengan pendekatan komprehensif dan kolaboratif antara guru, siswa, dan orang tua, diharapkan generasi muda dapat memanfaatkan teknologi dengan bijak dan tetap fokus pada tujuan pendidikan mereka.



Yuk Bagikan :

Baca Juga