Sesaki Ruang Publik dengan Baliho, Merenggut Kemerdekaan Visual

Rabu, 07 Februari 2024 15:20 WIB | 61 kali
Sesaki Ruang Publik dengan Baliho, Merenggut Kemerdekaan Visual

Alat peraga kampanye berupa baliho, spanduk dan sejenisnya selalu meramaikan jalanan setiap masa kampanye berlangsung. Foto: ilustrasi

Penulis: NgopGolA

HIRUK pikuk pemilu di seantero penjuru negeri selalu ditandai iklan politik yang semarak, baik di media digital maupun kenyataan di lapangan. Salah satu yang paling kentara, dan dapat dibuktikan secara visual ialah menjamurnya baliho iklan para kontestan pemilu di berbagai wilayah. Di jalanan, dinding rumah-rumah warga, tiang listrik, pepohonan, dan pinggir jalan umum ataupun pelosok kampung tak luput dari pemasangan baliho para kontestan pemilu.

Fenomena ini adalah sebuah kenyataan yang sedikit banyak mendegradasi kemerdekaan visual masyarakat. Sejauh mata memandang, di seantero pelosok wilayah selalu dijejali dengan baliho kontestan pemilu dengan berbagai pose, sehingga merenggut kemerdekaan visual kita. Lebih-lebih, sering kali pemasangan baliho kontestan politik itu tidak mempertimbangkan aspek estetika, tata letak, dan yang paling penting ialah sering kali tanpa izin!

Dalam kondisi serupa itu, tentu masyarakat boleh bertanya, apakah mereka benar-benar sebagai subyek politik seperti yang digaungkan oleh prinsip-prinsip demokrasi atau justru sebagai obyek politik?

Hak-hak visual masyarakat umum dalam periode kampanye seharusnya dipatuhi sebagai suatu hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Hal ini bukan berarti memasang baliho dalam jumlah yang banyak dan berukuran besar tidak boleh dilakukan, melainkan saran yang ingin disampaikan ialah pemasangan baliho kontestan pemilu harus mempertimbangkan aspek estetika, tata letak, jumlah yang dalam batas nalar, dan mematuhi peraturan yang ada.

Ada kesan selama ini pemasangan baliho kontestan pemilu sangat asal-asalan. Adakalanya baliho yang dipasang justru membahayakan masyarakat karena ukurannya yang terlampau besar, tetapi tidak mempertimbangkan aspek keamanan bagi warga sehingga rawan roboh dan patah.

Ironisnya, jumlah baliho yang terpasang sungguh di luar nalar. Sebagai contoh, dalam satu ruas jalan di suatu daerah, misalnya, dijumpai per 5 meter dipasangi satu baliho kontestan pemilu, di tepi kiri dan kanan sepanjang ratusan meter.

Gencarnya pemasangan baliho caleg dengan kuantitas yang berlebihan adalah sebuah kemubaziran. Pemilu bukanlah lomba mencari siapa yang terbanyak memasang baliho.

Hal paling substansial dan filosofis yang harus dipahami para caleg ialah pemilu merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih wakilnya berdasarkan sepak terjang yang telah terpantau dan teruji di tengah-tengah warga. Oleh sebab itu, menjadi kontestan politik tidak cukup hanya dengan jorjoran memasang baliho dan beriklan di berbagai media menjelang pemilu.

Berlomba-lomba menyesaki ruang publik dengan baliho sebagai media kampanye untuk menutupi kurangnya modal politik seorang caleg adalah sebuah bentuk kesesatan dalam menyongsong Pemilu 2024. Ini mengindikasikan partai politik tidak mampu menjaring tokoh yang teruji secara organis di masyarakat. Akibatnya, yang dipilih sebagai caleg hanyalah tokoh yang populer atau yang memiliki logistik keuangan yang kuat untuk berkampanye, tak peduli ia layak atau tidak sebagai wakil rakyat.

Modal sosial dan kultural

Seorang teoretikus sosial terkemuka, Pierre Bourdieu, merumuskan sebuah teori bahwa seseorang yang berkarier dalam suatu struktur sosial tertentu dapat dan harus mengakumulasi modal sosial, kultural, dan ekonomi untuk mencapai kuasa simbolik (Richard Jenkins, 2004). Untuk mengakumulasi modal-modal tersebut, seseorang harus bergelut dalam sebuah lintasan yang nanti akan mengakumulasi berbagai macam modal untuk meraih kemenangan sosial.

Dengan bertumpu kepada teori Bourdieu itu, kita dapat memaknai bahwa sebetulnya dalam sebuah kontestasi pemilu, masa kampanye tak ubahnya hanya masa pemenuhan syarat administratif. Masa kampanye yang sebenarnya adalah periode sekitar 4,5 tahun sebelumnya yang seharusnya digunakan para caleg untuk mengakumulasi modal politiknya. Dalam rentang waktu itulah, jika ingin menjadi politisi yang organik, seorang caleg harus mampu mengakumulasi modal sosial, kultural, dan politiknya di masyarakat.

Caranya adalah terlibat aktif dalam persoalan sosial masyarakat, menunjukkan pengabdian kepada masyarakat, dan mengobyektifikasikan visi-misinya sebagai bacaleg dalam praktik kemasyarakatan sehingga jelas identitas ideologinya sebagai wakil rakyat. Hal ini tentu menguntungkan bagi kedua belah pihak, baik bagi rakyat maupun bagi para caleg.

Bagi rakyat, kondisi tersebut mempermudah untuk menentukan pilihannya karena para tokoh politik yang akan dipilih telah dikenal karena tumbuh di tengah-tengah mereka dan ditempa dalam jejaring yang organik. Bagi para caleg, proses menjadi bagian masyarakat yang organik tentu akan menguntungkan, yakni, ketika masa kampanye, ia tidak lagi membutuhkan dana yang besar untuk kampanye karena telah memiliki modal sosial, kultural, dan politik.

Dalam masa pemilu, caleg yang organik akan memanen suara rakyat dari hasil akumulasi modalnya. Jika proses hal itu yang terjadi, beriklan di berbagai media sosial dan memasang baliho hanyalah sebuah komplemen dari proses politik yang sebelumnya telah dirancang oleh para kontestan pemilu. Dengan kata lain pula, para caleg tidak perlu jorjoran untuk memasang baliho gambar dirinya di berbagai tempat untuk mengenalkan dirinya kepada pemilih. Artinya pula, ongkos politik tidak terlampau besar.

Hal itulah yang tidak disadari oleh para caleg pada kontestasi Pemilu 2024. Tentu banyak caleg yang lahir dari proses yang organik, tetapi caleg karbitan jauh lebih banyak. Caleg yang muncul dengan proses instan pada umumnya berupaya mendongkrak popularitas dengan cara beriklan secara membabi buta pada masa kampanye.

Oleh sebab itu, asal memiliki logistik kampanye yang kuat, seseorang dapat maju sebagai bakal caleg dari suatu partai tertentu. Para caleg instan itu lupa bahwa ada yang jauh lebih penting dari persoalan popularitas, yaitu soal ideologi serta visi dan misi. Begitulah fenomena umum yang terjadi pada Pemilu 2024.

Hal ini juga menandakan partai politik sebagai wadah menumbuhkembangkan pengaderan dan penempaan calon politisi tidak bergerak sebagaimana mestinya. Seharusnya, setiap partai politik mampu menempa para kadernya untuk disiapkan menjadi politisi yang matang secara organik, bukan politisi karbitan yang hanya muncul gaungnya di masa kampanye.

Demokrasi Indonesia harus naik kelas, bukan sebagai ajang mencari lowongan kerja politik bagi para orang-orang berduit, melainkan ajang menyaring politisi yang tumbuh dari proses yang organik dan memiliki integritas yang kuat sebagai wakil rakyat.

Ironisnya, sesat pikir dalam menyongsong pemilu tampaknya menjadi sebuah fenomena yang terus berulang dari waktu ke waktu. Pemilu justru menjadi rahim lahirnya caleg karbitan, bukan caleg yang muncul dari proses politik yang berjenjang. Pada akhirnya, pertanyaannya adalah, kapan sesat pikir ini akan disudahi? 


 



Yuk Bagikan :

Baca Juga