Menuju Indonesia Emas 2045

Senin, 12 Februari 2024 11:08 WIB | 769 kali
Menuju Indonesia Emas 2045

Peningkatan sumber daya manusia ditetapkan sebagai isu utama untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Foto: Marikitabaca.id

Penulis: Juma Hardi

MARIKITABACA.ID -- Isu pembangunan manusia unggul melalui pendidikan kembali menjadi primadona dalam setiap kampanye pemilihan umum (pemilu), termasuk pada pemilu presiden kali ini. Berbagai janji untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dilontarkan para calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres), mulai dari penyediaan taman bermain, pemberian makan siang dan susu gratis, hingga gaji dan kepastian kerja untuk penduduk bersekolah.

Namun, potensi hilangnya hak sebagian anak Indonesia untuk tetap bersekolah tetap menjadi satu hal yang luput dari berbagai janji tersebut. Persoalan inklusivitas pendidikan masih membayangi pembangunan manusia Indonesia dari tahun ke tahun. Setelah 78 tahun merdeka, ancaman hilangnya hak anak-anak untuk mengenyam bangku sekolah karena harus bekerja dengan durasi di luar batas yang diperbolehkan masih cukup tinggi.

Seluruh anak Indonesia seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat bermain dan belajar sehingga dapat mengembangkan interaksi sosial serta kapasitas fisik dan intelektualnya. Untuk itulah, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan turut mengatur keterlibatan pekerja anak pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, dan perkembangan moral (hazardous work).

Persoalan pekerja anak semakin mendesak untuk segera dituntaskan sebab saat ini Indonesia menghadapi ”dua mata pisau” bonus demografi. Keberhasilan mempersiapkan anak-anak untuk menjadi tenaga kerja dengan produktivitas tinggi di masa depan mampu melejitkan perekonomian negara. Namun, jika gagal, Indonesia harus bersiap untuk menyongsong angka ketergantungan yang akan kembali meningkat setelah tahun 2041. Hal ini seharusnya mendapatkan perhatian para calon pemimpin bangsa untuk memastikan tercapainya Visi Indonesia Emas 2045 yang tinggal dua dekade.

Potret Pekerja Anak

Pada 2020, jumlah pekerja anak di Indonesia meningkat drastis, mencapai 1,33 juta anak atau satu hingga dua dari 100 anak bekerja di luar durasi kerja yang diperbolehkan. Meskipun pascapandemi persentase pekerja anak berangsur menurun, 1,74 persen pada 2022, nyatanya kondisi ini belum pulih sepenuhnya dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Pandemi Covid-19 telah mendorong lebih banyak keterlibatan pekerja anak seiring dengan meningkatnya kemiskinan dan penutupan sekolah (ILO dan Unicef, 2021) sehingga mendesak keluarga terdampak untuk mempekerjakan anaknya.

Fenomena ini selaras dengan meningkatnya kemiskinan di Indonesia pada saat pandemi (9,41 persen pada 2020) dan belum pulih pascapandemi (9,54 persen pada 2022). Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian berpengaruh pada kondisi pekerja anak.

Ketimpangan ekonomi menghasilkan sebaran pekerja anak yang terkonsentrasi di kawasan Indonesia timur. Persentase pekerja anak tertinggi berada di Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana 4 dari 100 anak merupakan pekerja anak. Tingginya pekerja anak di wilayah ini seiring dengan rendahnya produk domestik bruto (PDB) per kapita, tingginya persentase kemiskinan, dan rendahnya rata-rata tahun bersekolah (mean years of schooling).

Berdasarkan data BPS, pada 2022, ketiga provinsi tersebut termasuk 10 provinsi dengan PDB per kapita terendah. Bahkan, PDB per kapita NTT paling rendah di antara provinsi lainnya, sebesar Rp 21,72 juta pada 2022. NTT dan Gorontalo juga termasuk lima provinsi dengan persentase kemiskinan tertinggi, masing-masing 19,96 persen dan 15,15 persen pada tahun yang sama.

Adapun rata-rata lama sekolah di ketiga provinsi tersebut juga termasuk 10 terendah dibandingkan dengan provinsi lainnya, yaitu sekitar delapan tahun. Kesesuaian antarindikator tersebut mengindikasikan saling terkaitnya kondisi pekerja anak dengan keadaan sosial ekonomi suatu wilayah.

Pekerja anak masih didominasi oleh anak laki-laki yang mencapai 1,81 persen pada 2022. Hal ini didorong dengan melekatnya anggapan bahwa anak laki-laki kelak menjadi pencari nafkah utama di keluarga sehingga orangtua mengandalkan mereka untuk membantu perekonomian keluarga.

Meskipun demikian, pada saat pandemi, pekerja anak perempuan meningkat, yang menyebabkan gap di antara keduanya semakin sempit. Anak perempuan yang awalnya lebih banyak diandalkan di rumah sebagai pekerja rumah tangga tidak dibayar (unpaid household service) tidak memiliki pilihan selain terlibat bekerja di luar rumah.

Dengan demikian, saat ini beban pekerja anak laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda, terutama jika konsep unpaid household service diperhitungkan sebagaimana konsep pekerja anak oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), niscaya akan meningkatkan persentase pekerja anak perempuan.

Sebagian besar pekerja anak berada pada rentang usia 15-17 tahun, menyebabkan masyarakat sering kali menganggap mereka sebagaimana pekerja dewasa. Mereka diberikan pekerjaan yang berat dan jam kerja yang panjang sehingga mengurangi waktu untuk belajar dan mengasah kompetensi.

Jumlah pekerja anak di perdesaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan juga memunculkan masalah lain. Perbedaan persentase pekerja anak di perdesaan sebesar hampir 1 persentase poin lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan, selaras dengan lebih tingginya persentase kemiskinan anak di perdesaan, mencapai 1,5 lipatnya dibandingkan dengan di perkotaan.

Hasil penelitian SMERU (2021) tentang pekerja anak di perdesaan menegaskan, rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat perdesaan tentang konsep pekerja anak dan risiko yang mungkin muncul akibat pekerjaan tertentu menyebabkan orangtua justru mendorong/membiarkan anaknya untuk bekerja, bahkan di pekerjaan yang membahayakan.

Di sisi lain, rata-rata penduduk usia 15 ke atas di perdesaan yang bersekolah formal (mean years schooling) hanya 7 tahun, lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan yang mencapai 9 tahun. Jika pekerja anak terus berlanjut, tampaknya akan lebih sulit mengatasi ketertinggalan kesetaraan pendidikan di perdesaan dan perkotaan.

Sektor jasa konsisten sebagai tujuan pelarian bagi pekerja anak dari tahun ke tahun, diikuti sektor pertanian dan industri. Pada 2022 lebih dari setengah dari pekerja anak bekerja di sektor jasa, terutama karena kurangnya keterampilan khusus yang mempermudah mereka masuk di sektor ini. Ini seperti anak-anak di perkebunan tembakau Lombok Timur yang mengikat daun tembakau (menggelantang) serta di Jember yang memasukkan tembakau ke ikatan benang (nyujen) (SMERU, 2021).

Sekilas, memang pekerjaan tersebut mudah dan aman, ditambah upah yang diperoleh dapat menyumbang membeli kebutuhan pokok atau kebutuhan sekolah. Namun, tanpa disadari berpotensi mengganggu kesehatan, terutama pernapasan karena paparan tembakau.

Di sisi lain, pekerja anak yang berbiaya rendah tersebut menarik hati penggerak bisnis yang dianggap memiliki nilai ekonomi sendiri (Nguyen, 2017). Ironis, sebab hal ini menggambarkan risiko besar yang mengintai setiap pekerja anak tanpa adanya kesadaran antisipasi dari orang terdekat.

Menekan Jumlah Pekerja Anak

Upaya penghapusan pekerja anak sebenarnya telah dijalankan oleh pemerintah sejak 2002. Tahun 2022 yang menjadi akhir waktu Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak masih menyisakan permasalahan pekerja anak yang menandakan perlunya perumusan kembali program strategis yang dilakukan.

Program yang perlu dikembangkan tidak jauh-jauh dari menyasar kesejahteraan nasional, sebagaimana banyak studi menunjukkan hubungan antara pekerja anak dan kemiskinan sebagai ”lingkaran setan”. Untuk itu, salah satu upaya dalam menekan pekerja anak dapat dilakukan dengan penguatan sistem perlindungan sosial melalui pemanfaatan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).

Pendataan yang menargetkan seluruh keluarga di Indonesia ini mencakup profil sosial dan ekonomi, seperti perumahan, ketenagakerjaan, kepemilikan usaha dan aset, hingga keikutsertaan dalam program perlindungan dan pemberdayaan sosial. Selain itu, data by name by address yang dihasilkan Regsosek sudah dilengkapi dengan peringkat kesejahteraan keluarga, mulai dari sangat miskin hingga tidak miskin.

Melalui data yang kaya tersebut serta terhubung dengan identitas kependudukan, maka dapat dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai bahan evaluasi sekaligus memberikan fleksibilitas dalam menentukan jenis program perlindungan sosial yang diperlukan selanjutnya, apakah dalam bentuk bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, kebijakan fiskal, atau lainnya.

Dengan terciptanya ketahanan sosial, diharapkan berdampak pada peningkatan kesejahteraan penduduk dan mengurangi risiko untuk memperkerjakan anak. Dengan demikian, anak dapat menikmati haknya untuk bersekolah serta mengembangkan potensi dan kompetensi diri untuk menjadi pribadi yang lebih berkualitas.

Pada akhirnya, tenggelamnya Titanic tidak hanya karena kegagalan kapten kapal mengenali lokasi gunung es, tetapi juga karena badan kapal yang memang tidak siap untuk menerjangnya. Demikian juga pencapaian Indonesia Emas 2045, tidak hanya memerlukan nakhoda yang andal dalam mengenali masalah. Indonesia juga harus dibangun oleh sumber daya manusia yang mampu menerjang segala ketidakpastian dan disrupsi di masa depan.



Yuk Bagikan :

Baca Juga