Prabowo Subianto. Foto: DPP Gerindra
MARIKITABACA.ID - Salah satu fenomena paling menarik dari pemilu kali ini adalah tidak liniernya perolehan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan Partai Gerindra. Prabowo-Gibran menang, tetapi suara Gerindra stagnan, bahkan kalah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Padahal, Prabowo merupakan pendiri dan Ketua Umum Gerindra. Mengapa?
Hasil hitung cepat (quick count) Litbang Kompas menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran diprediksi mendapatkan suara 58,48 persen, jauh lebih unggul atas Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sebesar 25,21 persen dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 16,31 persen. Proporsi perolehan tersebut berdasarkan data masuk sebanyak 99,8 persen dari 2.000 tempat pemungutan suara (TPS) sampel yang terkumpul hingga 17 Februari 2024 pukul 14.55.
Perolehan suara tiap pasangan tersebut juga tak jauh berbeda dengan hasil sementara penghitungan riil (real count) KPU yang terpampang di laman https://pemilu2024.kpu.go.id/. Hingga data masuk sebanyak 71,46 persen dari total 823.236 TPS pada 19 Februari pukul 19.00, pasangan Prabowo-Gibran mendapatkan suara 58,57 persen, Anies-Muhaimin 24,26 persen, dan Ganjar-Mahfud 17,17 persen.
Hasil hitung cepat dan penghitungan riil KPU itu juga tak berbeda jauh dengan hasil survei pasca-pencoblosan (exit poll), 14 Februari lalu, oleh Litbang Kompas. Pasangan Prabowo-Gibran terdeteksi mendapatkan 54,4 persen suara.
Setidaknya ada dua hal yang dari hasil survei pasca-pencoblosan mencerminkan aliran dukungan yang kuat bagi suara Prabowo-Gibran. Pertama, solidnya basis massa partai-partai pengusung Prabowo-Gibran, yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju. Kedua, dukungan yang kuat dari sebagian besar bekas pemilih Joko Widodo.
Selain dari massa Gerindra yang dukungannya mencapai 87,6 persen, dukungan dari massa partai-partai koalisinya juga terbilang masif. Dukungan dari Partai Golkar mencapai 69,6 persen, Demokrat 70,5 persen, Partai Amanat Nasional (PAN) 64,6 persen, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 82,6 persen.
Tak hanya dari partai-partai koalisinya, Prabowo-Gibran juga mampu menyedot massa dari partai-partai koalisi pengusung pasangan calon lainnya. Dukungan kepada Prabowo-Gibran dari massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang sejatinya mengusung Anies-Muhaimin bahkan mencapai 45,6 persen, lebih tinggi dibandingkan yang mengalir ke Anies-Muhaimin yang sebesar 36,6 persen. Prabowo-Gibran juga menuai dukungan dari partai-partai koalisi pengusung Ganjar-Mahfud. Dari PDI-P, misalnya, terdapat aliran 34,7 persen ke Prabowo-Gibran.
Faktor Jokowi
Selain dukungan masif dari berbagai massa partai, Prabowo-Gibran juga mendapatkan aliran suara yang besar dari bekas pemilih Jokowi pada Pemilu 2019. Dukungan suara yang diberikan oleh sukarelawan atau kelompok ”Jokower” kepada Prabowo-Gibran mencapai 53,5 persen, lebih dari dua kali lipat dibandingkan yang mengalir ke Ganjar-Mahfud yang besarnya 23,2 persen.
Hal ini tentu berpengaruh sangat besar terhadap perolehan Prabowo-Gibran mengingat terpecahnya sebagian bekas pemilih Prabowo di Pemilu 2019 kepada pasangan Anies-Muhaimin. Bekas pemilih Prabowo yang saat pemilu kemarin kembali memberikan dukungan kepada Prabowo sebesar 57,1 persen. Sementara suara yang mengalir ke Anies-Muhaimin sebesar 35,8 persen atau lebih dari sepertiganya.
Baca juga: Prabowo-Gibran Unggul di Semua Gugus Pulau
Pada Pemilu 2019, suara yang diperoleh Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebesar 55,5 persen dan yang diperoleh kompetitornya, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, 44,5 persen. Dengan memperhitungkan jumlah aliran dukungan yang didapat dari bekas pemilih Prabowo, dapat dikalkulasikan Prabowo memiliki modal suara awal dengan angka mutlak sebesar 25,4 persen.
Sementara suara yang didapat dari aliran bekas pemilih Jokowi sekitar 29,7 persen. Dengan demikian, setidaknya Prabowo-Gibran telah mengantongi dukungan 55,1 persen dari eks pemilih Prabowo dan Jokowi.
Gerindra stagnan
Berbeda dengan arus dukungan dari basis massa partai kepada sosok capres-cawapres, pengaruh kekuatan Prabowo-Gibran ternyata tidak ekuivalen dengan perolehan partai, khususnya terhadap Gerindra. Hasil hitung cepat Litbang Kompas menunjukkan perolehan suara partai tertinggi diraih PDI-P dengan 16,36 persen, diikuti Partai Golkar 14,59 persen. Gerindra di urutan ketiga dengan suara 13,51 persen.
Pada Pemilu 2019, Gerindra memperoleh suara 12,57 persen, hampir sama dengan perolehan saat ini. Dengan perolehan itu, Gerindra masih bisa menduduki peringkat kedua perolehan suara mengalahkan Partai Golkar.
Hasil survei pasca-pencoblosan pun menunjukkan tingginya suara Prabowo-Gibran tak berdampak pada kenaikan suara Gerindra. Sumbangan pemilih pasangan itu kepada Gerindra hanya 30,8 persen. Sisanya, hampir 70 persen, tersebar memilih partai lain. Kepada partai anggota koalisi seperti Partai Golkar mencapai 14,1 persen, Demokrat 7,1 persen, PAN 5,9 persen, dan kepada PSI 2,9 persen.
Tak hanya kepada partai-partai koalisinya, pemilih Prabowo-Gibran juga mengalir atau tetap menjadi pemilih partai yang menjadi pengusung capres-cawapres lainnya. Pemilih pasangan tersebut yang kemudian memilih PDI-P mencapai 10,1 persen. Ini seolah menunjukkan bahwa mereka ”memilih Prabowo sebagai presiden, tetapi untuk partai tetap memilih PDI-P”.
Atau, ”sekalipun berhasil menggaet pemilih PDI-P untuk memilih Prabowo-Gibran, tetapi tak serta-merta dapat menggiring massa PDI-P untuk memilih Gerindra”. Hal yang sama terjadi pada pemilih Prabowo-Gibran yang memilih PKB (7,1 persen), Nasdem (5,2 persen), PKS (4,1 persen), PPP (2 persen), dan partai-partai lainnya.
Tidak liniernya perolehan besar yang didapatkan Prabowo dengan perolehan Partai Gerindra menunjukkan efek ekor jas (coattail effect) tidak terjadi. Ini sangat berbeda dengan Pemilu 2014 dan 2019 ketika kekuatan sosok Jokowi mampu mendongkrak suara PDI-P cukup signifikan.
Berbeda dengan pengaruh Jokowi terhadap keunggulan suara Prabowo-Gibran yang sangat tinggi, dengan memberikan kontribusi berupa aliran eks pemilih Jokowi yang diprediksi mencapai angka 29,7 persen, peran Jokowi dalam menyumbang suara untuk Gerindra terbilang sangat kecil. Hanya 7,1 persen dari total bekas pemilih Jokowi yang kemudian memilih Gerindra. Sebaliknya, suara pemilih Jokowi yang mengalir kepada PDI-P masih yang tertinggi (37,9 persen) dibandingkan kepada partai-partai lain.
Ini sebabnya suara PDI-P relatif masih dapat bertahan di papan atas meskipun suara Ganjar-Mahfud yang diusung partai tersebut berada di papan bawah. Basis-basis suara PDI-P, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Utara, masih tetap dapat dikuasai PDI-P meskipun dalam pilpres dimenangi oleh Prabowo-Gibran.
Demikian juga terhadap PSI, pengaruh Jokowi tidak signifikan mendongkrak suara partai yang bahkan dipimpin Kaesang Pangarep, anak bungsunya. Bekas pemilih Jokowi yang kemudian memilih PSI hanya 0,6 persen. Jika diselisik lebih dalam lagi, bekas pemilih Jokowi yang dulu memilih PDI-P dan sekarang memilih PSI hanya 2,6 persen dari total pemilih Jokowi.
Ini menunjukkan pergeseran yang sangat kecil dari pemilih PDI-P ke PSI karena pengaruh Jokowi. Pada Pemilu 2019, PSI mendapatkan suara 1,89 persen dan pada Pemilu 2024, berdasarkan hitung cepat, diperkirakan akan berada di kisaran 2,81 persen sehingga kecil kemungkinan masuk ke Senayan.
Dengan suara Gerindra yang kalah dari PDI-P dan PSI yang berpotensi tak masuk ke parlemen, politik ke depan seharusnya menjadi menarik. Terlebih jika partai-partai dari capres yang kalah membentuk barisan oposisi. Namun, pilihan menjadi oposisi juga bukan pilihan mudah ketika politik kemudian menjadi makin transaksional.
sumber: LITBANG KOMPAS