15 Jutaaan Suara Rakyat Indonesia Terbuang Sia-sia?

Senin, 04 Maret 2024 13:57 WIB | 197 kali
15 Jutaaan Suara Rakyat Indonesia Terbuang Sia-sia?

maskot pemilu 2024 / foto: KPU

MARIKITABACA.ID - Dengan ambang batas parlemen sebesar 4 persen, tidak semua partai politik peserta pemilu bisa lolos menduduki kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga suara pemilih dari partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen dapat dianggap "terbuang". Pemilih yang suaranya terbuang tersebut diperkirakan mencapai 15,6 juta suara pada Pemilu 2024.

Peningkatan ambang batas parlemen dari 2,5 persen pada Pemilu 2009 hingga 4 persen pada Pemilu 2024 menunjukkan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas politik dan mengurangi fragmentasi parlemen. Namun, dampaknya adalah potensi pembatasan representasi partai-partai kecil atau baru yang memiliki dukungan relatif kecil, serta mungkin mengarah pada pemilih yang merasa tidak terwakili dengan baik.

Dengan hanya sembilan partai politik dari 18 partai nasional yang berhasil mencapai ambang batas parlemen, ini menunjukkan tantangan bagi diversifikasi politik dan representasi dalam DPR. Hal ini juga menyoroti pentingnya diskusi lebih lanjut tentang kebijakan ambang batas parlemen, termasuk pertimbangan untuk menentukan nilai yang tepat yang mempertimbangkan stabilitas politik dan representasi yang inklusif.

Dari total pemilih yang menggunakan hak suaranya (83,24 persen), sekitar 9 persen dari suara tersebut dinyatakan tidak sah, meninggalkan sekitar 74,34 persen suara yang sah atau sekitar 152 juta pemilih.

Dari persentase perolehan suara, akumulasi suara yang diperoleh oleh sembilan partai yang berpotensi lolos parlemen sebesar 89,89 persen. Namun, sembilan partai lainnya yang perolehan suaranya kurang dari 4 persen, jika ditotal, memiliki perolehan sebesar 10,31 persen. Potensi jumlah suara yang akan terkonversi menjadi kursi di DPR diperkirakan lebih kurang 136 juta suara.

Namun, ada sekitar 15,6 juta suara yang kemungkinan besar akan berujung pada wasted votes atau suara-suara yang terbuang. Ini mencerminkan tantangan dalam sistem pemilihan yang mungkin tidak mampu mencerminkan secara tepat keinginan seluruh pemilih, terutama mereka yang mendukung partai-partai kecil atau independen yang tidak mencapai ambang batas parlemen.

Analisis ini menunjukkan pentingnya untuk terus mempertimbangkan sistem pemilihan yang memungkinkan representasi yang lebih inklusif dan mencerminkan keberagaman pandangan politik di masyarakat. Hal ini dapat melibatkan diskusi lebih lanjut tentang ambang batas parlemen dan sistem pemilihan yang lebih proporsional.

Cerita Neva Aghisna menggambarkan pengalaman banyak pemilih yang mendukung partai-partai yang mungkin gagal melewati ambang batas parlemen. Meskipun Neva merasa kecewa dengan kemungkinan sia-sia suaranya, ia tetap memilih sesuai dengan keyakinan dan preferensinya.

Pilihan Neva untuk memilih PSI tidak hanya dalam pemilihan anggota DPR, tetapi juga untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan dedikasinya terhadap partai tersebut. Dengan demikian, masih ada harapan bahwa perwakilan dari PSI dapat menduduki kursi di tingkat daerah.

Selain itu, Neva menggantungkan harapannya pada anggota DPR dari partai yang satu koalisi dengan PSI di tingkat pusat. Langkah ini menunjukkan upaya Neva untuk tetap memiliki representasi politik meskipun partainya mungkin tidak berhasil melewati ambang batas parlemen.

Cerita Neva memperlihatkan pentingnya partisipasi politik dan komitmen terhadap keyakinan politik pribadi, meskipun dalam sistem pemilihan yang mungkin memiliki keterbatasan dalam mencerminkan preferensi seluruh pemilih.Cerita Neva Aghisna menggambarkan pengalaman banyak pemilih yang mendukung partai-partai yang mungkin gagal melewati ambang batas parlemen. Meskipun Neva merasa kecewa dengan kemungkinan sia-sia suaranya, ia tetap memilih sesuai dengan keyakinan dan preferensinya.

Pilihan Neva untuk memilih PSI tidak hanya dalam pemilihan anggota DPR, tetapi juga untuk pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota menunjukkan dedikasinya terhadap partai tersebut. Dengan demikian, masih ada harapan bahwa perwakilan dari PSI dapat menduduki kursi di tingkat daerah.

Selain itu, Neva menggantungkan harapannya pada anggota DPR dari partai yang satu koalisi dengan PSI di tingkat pusat. Langkah ini menunjukkan upaya Neva untuk tetap memiliki representasi politik meskipun partainya mungkin tidak berhasil melewati ambang batas parlemen.

Cerita Neva memperlihatkan pentingnya partisipasi politik dan komitmen terhadap keyakinan politik pribadi, meskipun dalam sistem pemilihan yang mungkin memiliki keterbatasan dalam mencerminkan preferensi seluruh pemilih.

Kisah Eleison Cahya Nugraha Luden mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh pemilih yang mendukung partai-partai kecil atau baru yang berpotensi gagal melewati ambang batas parlemen. Meskipun Eleison memilih salah satu caleg dari Partai Buruh dalam Pemilu 2024, partai tersebut juga menghadapi ancaman gagal lolos ke Senayan karena perolehan suara di bawah ambang batas minimal.

Berbeda dengan PSI, Partai Buruh tidak berkoalisi dengan partai lain dalam mendukung calon presiden dan wakil presiden dalam pemilu. Hal ini menunjukkan bahwa Eleison dan para pemilih Partai Buruh mungkin merasa bahwa suara mereka tidak akan memiliki pengaruh dalam tingkat eksekutif maupun legislatif.

Terkait dengan perasaan terbuang dan tersisihkan, Eleison menyatakan bahwa aspirasinya mungkin tidak terwakili oleh anggota DPR, tetapi ia tetap berharap bahwa para wakil rakyat akan bertindak untuk kebaikan rakyat Indonesia. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan dalam proses demokrasi dan harapan bahwa wakil rakyat akan bertindak sesuai dengan kepentingan publik, meskipun partai mereka mungkin tidak berhasil memperoleh kursi di parlemen.

Kisah Eleison menyoroti pentingnya representasi politik yang inklusif dan pembaharuan sistem pemilihan untuk memastikan bahwa suara semua pemilih, termasuk yang mendukung partai-partai kecil atau baru, dapat diakomodasi dan diwakili dengan adil dalam proses politik.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memerintahkan revisi ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, merupakan angin segar bagi sejumlah partai politik dan pemilih yang suaranya masih di bawah ambang batas tersebut, termasuk Neva dan Eleison. MK menyatakan bahwa ketentuan ambang batas tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi yang melindungi hak-hak dasar pemilih, seperti yang diatur dalam UUD 1945.

Meskipun keputusan MK belum berlaku untuk Pemilu 2024, tetapi memberikan harapan bagi partai-partai kecil atau baru untuk dapat lebih berpartisipasi dalam proses politik pada Pemilu 2029. Ini juga mengurangi kekecewaan Neva dan Eleison serta pemilih lainnya yang merasa bahwa suara mereka terbuang karena ambang batas yang tinggi.

Wasisto Jati, seorang peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan keprihatinannya terhadap banyaknya suara sah yang terbuang akibat ambang batas parlemen 4 persen. Hal ini menunjukkan pentingnya untuk memperbaiki sistem pemilihan agar lebih inklusif dan mewakili berbagai pandangan politik dalam masyarakat. Dengan demikian, keputusan MK tersebut diharapkan dapat menjadi langkah positif menuju sistem pemilihan yang lebih adil dan representatif.

Pernyataan Wasisto menyoroti pentingnya keselarasan antara aspirasi politik pemilih dan mekanisme pemilihan yang ada. Ia menyayangkan bahwa penerapan parliamentary threshold atau ambang batas parlemen membatasi representasi politik bagi sejumlah pemilih, karena suara mereka dianggap tidak memiliki dampak dalam pembentukan parlemen.

Data menunjukkan bahwa jumlah suara yang terbuang pada pemilu meningkat dari tahun ke tahun, menandakan adanya ketidaksempurnaan dalam sistem pemilihan yang berdampak pada representasi politik. Dengan partai-partai kecil atau baru yang terancam gagal lolos menjadi lebih banyak, suara rakyat yang terbuang juga bertambah.

Wasisto menegaskan bahwa para wakil rakyat yang berhasil terpilih harus mengakomodasi aspirasi politik tidak hanya dari konstituen mereka di daerah pemilihan, tetapi dari seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, ia menyarankan agar pembuat undang-undang, baik pemerintah maupun DPR, mempertimbangkan aspirasi dari pemilih dan partai politik yang tidak lolos ke parlemen.

Putusan Mahkamah Konstitusi untuk merumuskan kembali ambang batas parlemen menjadi langkah penting untuk memastikan inklusivitas dan keadilan dalam sistem pemilihan. Dengan demikian, harapannya adalah bahwa di masa mendatang, akan lebih sedikit suara rakyat yang terbuang sia-sia, dan kekecewaan para pemilih karena gagalnya calon wakil rakyat yang mereka dukung dapat terobati. Yang terpenting adalah bahwa aspirasi politik mereka juga terwakili dengan baik dalam proses politik.

Penulis: Oyeng Lohengrin



Yuk Bagikan :

Baca Juga