Ambang Batas Parlemen 4 persen di Pertahankan

Selasa, 05 Maret 2024 11:39 WIB | 178 kali
Ambang Batas Parlemen 4 persen di Pertahankan

Gedung MPR DPR / Foto: net

MARIKITABACA.ID - Revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu untuk menurunkan ambang batas parlemen ternyata sulit terlaksana. Mayoritas fraksi partai politik yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat justru memandang bahwa ambang batas parlemen seharusnya dipertahankan, bahkan mungkin ditingkatkan, demi memperkuat sistem presidensial.

Setidaknya lima dari sembilan fraksi partai politik yang ada di DPR memiliki pandangan yang serupa mengenai wacana perubahan ambang batas parlemen. Kelima partai tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Wacana perubahan ambang batas tersebut muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) meminta revisi ambang batas sebesar 4 persen karena dianggap tidak konsisten dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menjadi kesempatan untuk merevisi undang-undang tersebut. Menurut Golkar, terdapat beberapa isu klasik dan kontemporer terkait pemilu yang perlu diubah, salah satunya adalah ambang batas parlemen. Namun, bukannya menurunkan ambang batas parlemen dari angka saat ini, yaitu 4 persen dari total suara sah nasional, Golkar justru menganggap bahwa angka tersebut sebaiknya ditingkatkan.

"Dalam upaya penyederhanaan partai politik, kami (Golkar) pernah mengusulkan untuk menaikkan ambang batas menjadi 5 persen. Kami melihat ini sebagai batas toleransi. Di luar negeri, ada yang menerapkan ambang batas parlemen sebesar 7 persen hingga 10 persen," kata Doli saat dihubungi dari Jakarta pada Selasa (5/3/2024).

Doli menambahkan bahwa usulan untuk meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 5 persen telah disampaikan dalam rapat Komisi II DPR pada awal masa jabatan DPR periode 2019-2024. Selain mengenai angka, Golkar juga mengusulkan agar ambang batas tersebut berlaku secara bertahap di semua tingkatan lembaga legislatif. "Kami mengusulkan agar ambang batas sebesar 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPRD Provinsi, dan 3 persen untuk DPRD Kabupaten/Kota," tambah Doli, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR.

Meskipun mengusulkan angka spesifik, Doli menjelaskan bahwa angka tersebut tidak didasarkan pada analisis metodologis yang mendalam. Usulan tersebut hanya didasarkan pada prinsip nilai tengah dari berbagai masukan yang diterima dari fraksi-fraksi partai politik lainnya. "Waktu itu kami berusaha untuk moderat saja. Sebelumnya, ambang batas parlemen mulai dari 2 persen naik menjadi 3,5 persen, kemudian naik lagi menjadi 4 persen. Ada juga teman-teman yang mengusulkan angka 7 persen, 10 persen, jadi kami dari Golkar memutuskan untuk mengambil angka yang moderat, yaitu 5 persen," ujarnya.

Oleh karena itu, Doli menyatakan bahwa Golkar akan melakukan kajian yang lebih mendalam terkait pertimbangan dan rumusan penentuan ambang batas parlemen. Salah satu pendekatan yang akan digunakan adalah substansi dari uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK yang menginstruksikan DPR dan pemerintah untuk mengubah ambang batas parlemen melalui revisi UU Pemilu didasari oleh perkara uji materi tersebut.

Menurut Doli, pentingnya ambang batas parpol mencapai 5 persen dari total suara sah nasional dikarenakan Indonesia menerapkan sistem presidensial. Sistem presidensial dianggap akan menjadi kuat dan efektif jika didukung oleh sistem parlemen multipartai yang sederhana atau tidak terlalu banyak partai politik. "Ini bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial kita. Semakin sederhana sistem multipartai kita, maka semakin efektif penyelenggaraan pemerintahan," tambah Doli.

Dalam putusan yang diumumkan pada 29 Februari lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mengabulkan sebagian dari permohonan yang diajukan oleh Perludem. Salah satu aspek yang ditegaskan MK adalah bahwa ketentuan ambang batas parlemen tersebut telah menyebabkan kehilangan suara rakyat atau jumlah suara pemilih yang tidak terwakili dalam kursi di DPR.

Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa ambang batas tersebut perlu segera diubah dengan mempertimbangkan beberapa hal, termasuk desain yang dapat digunakan secara berkelanjutan. Besaran angka yang diputuskan harus tetap memperhatikan proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Selain itu, perubahan terhadap ambang batas juga harus diarahkan untuk menyederhanakan struktur partai politik.

Selain itu, MK juga setuju dengan pandangan Perludem bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak didasarkan pada metode dan argumen yang memadai. Ini menunjukkan perlunya tinjauan mendalam terhadap sistem ambang batas parlemen untuk memastikan bahwa representasi politik yang lebih adil dan inklusif dapat terwujud.

Wakil Sekretaris Jenderal PKB, Syaiful Huda, juga menyatakan bahwa partainya tidak setuju dengan revisi yang mengubah ambang batas sebesar 4 persen. Menurutnya, revisi semacam itu justru bisa berdampak pada penurunan ambang batas, yang pada gilirannya dapat menciptakan masalah baru dalam konteks penyederhanaan partai politik.

"Hal ini penting agar partisipasi dan pilihan publik kita tidak terpecah dan tersebar. Kami ingin agar pemilu di masa depan lebih terfokus pada agenda-agenda yang bersifat strategis dan ideologis. Jika kita terus menerus seperti ini, tanpa adanya penyederhanaan partai, dan masih mempertahankan sistem multipartai, pragmatisme politik akan terus menjadi kendala setiap kali kita melaksanakan pemilu," ungkap Huda.

Huda menegaskan bahwa tidak ada yang sia-sia dengan penerapan ambang batas 4 persen. Semua partai politik sudah terakomodasi, bahkan partai-partai dengan dukungan yang lebih kecil tetap dapat menyuarakan aspirasi rakyat melalui DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Huda, putusan MK juga menunjukkan sikap yang tidak konsisten dari Mahkamah itu sendiri. Hal ini terjadi karena saat batas pencalonan presiden dibatasi, MK memerintahkan untuk mengubah ambang batas parlemen agar dapat diterapkan pada Pemilu 2029. "Jika kita ingin memperkuat sistem presidensial, maka harus ada ambang batas parlemen. Ketika ambang batas parlemen dilanggar, itu berarti melemahkan sistem presidensial kita. Untuk menjaga kekuatan sistem presidensial, perlu adanya pembatasan parliamentary threshold," jelas Huda.

Hidayat Nurwahid, Wakil Ketua Majelis Syura PKS, mengungkapkan bahwa menurunkan ambang batas parlemen dari 4 persen dan membuatnya sangat longgar tidak akan efektif dalam memperkuat parlemen dan partai politik. Menurutnya, besaran ambang batas harus ditetapkan berdasarkan kajian ilmiah dan argumentasi yang tidak hanya rasional, tetapi juga demokratis.

Meskipun demikian, ia juga mengusulkan bahwa jika ambang batas dinaikkan, sebaiknya mengacu pada pengalaman yang pernah diterapkan pada Pemilu 1999. Saat itu, diterapkan mekanisme penggabungan suara sehingga suara partai politik yang tidak mencapai ambang batas untuk masuk ke parlemen tidak langsung hilang, tetapi bisa digabungkan dengan suara partai politik lain yang berhasil lolos ke parlemen. Dengan demikian, suara pemilih tidak akan sia-sia karena ada opsi bagi partai politik yang tidak mencapai ambang batas untuk tetap memiliki perwakilan di DPR dengan persyaratan tertentu, seperti tidak membentuk fraksi, tetapi bergabung dengan fraksi lain.

Sebelumnya, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI-P, juga menekankan bahwa ambang batas parlemen harus dilihat secara komprehensif dalam konteks sistem pemerintahan presidensial, sistem demokrasi, dan konsolidasi demokrasi. Menurutnya, konsolidasi demokrasi harus dilakukan secara bertahap dengan menaikkan ambang batas parlemen secara bertahap hingga penyederhanaan partai politik secara demokratis dapat mencapai jumlah ideal.

Ketua DPP Partai Nasdem, Saan Mustopa, menyatakan bahwa sistem pemerintahan presidensial perlu diseimbangkan dengan sistem parlemen yang sederhana. Untuk mencapai hal tersebut, ambang batas parlemen masih dianggap penting guna menyederhanakan struktur partai politik. Besaran ambang batas yang ideal juga harus dipertimbangkan karena berhubungan dengan representasi masyarakat di parlemen serta mempengaruhi efektivitas negosiasi di dalamnya.

Firman Noor, seorang peneliti senior di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyatakan bahwa penerapan ambang batas partai politik perlu dipandang sebagai upaya untuk memaksa partai politik untuk bekerja secara efektif di tengah masyarakat. Jika ambang batas terlalu rendah, kualitas partai politik dapat terancam karena tidak hanya partai politik yang berkualitas yang dapat lolos ke parlemen, tetapi juga partai politik yang hanya mengikuti pemilu tanpa memberikan kontribusi yang signifikan.

Menurut Firman, hal tersebut penting karena akan berdampak pada kinerja parlemen. Partai politik yang mendapatkan jumlah kursi yang tidak signifikan dibandingkan dengan jumlah alat kelengkapan dewan dapat mengalami kinerja yang tidak optimal.

Meskipun demikian, Firman juga tidak setuju jika besaran ambang batas parlemen dinaikkan hingga angka yang terlalu tinggi. Menurutnya, hal tersebut akan mengurangi representasi aspirasi masyarakat secara nyata. Sebabnya, tidak ada jaminan bahwa partai politik yang lolos ambang batas akan benar-benar mewakili kepentingan banyak orang.

"(Ambang batas 4 persen) sudah cukup. Jika bisa disebut sebagai ideologi partai, itu sudah mencakup aliran-aliran yang ada di Indonesia. Dan, di tingkat lokal pun, jumlah partai politik tersebut sudah cukup untuk mewakili keberagaman opini," ujarnya.

Penulis: Oyeng Lohengrin



Yuk Bagikan :

Baca Juga