Dampak Kemenangan Putin

Kamis, 21 Maret 2024 09:53 WIB | 154 kali
Dampak Kemenangan Putin

Vladimir Putin answered media questions / Photo: Sergey Guneev, RIA Novosti

MARIKITABACA.ID - Pada pemilu di Rusia yang berlangsung dari tanggal 15 hingga 17 Maret 2024, Vladimir Putin meraih kemenangan telak. Dari 99,76 persen suara yang dihitung, Putin berhasil memperoleh dukungan sebanyak 87,33 persen, unggul jauh dari para pesaingnya.

Nikolay Kharitonov dari Partai Komunis menempati posisi kedua dengan 4,3 persen suara, diikuti oleh Vladislav Davankov dari New People dengan 3,84 persen, dan Leonid Slutsky dari Partai Liberal Demokratik dengan 3,3 persen suara. Tingkat partisipasi pemilih pada kali ini mencapai 73,33 persen dari total 114 juta pemilih yang terdaftar.

Kemenangan ini merupakan yang terbesar bagi Putin sejak ia mulai memegang kekuasaan pada tahun 2000. Boris Nadezhdin, yang mencalonkan diri dengan slogan anti-perang, tidak diizinkan untuk berpartisipasi dalam pilpres karena dianggap tidak memenuhi syarat. Secara praktis, semua peserta dalam pilpres kali ini memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Putin.

Kemenangan Putin sudah bisa diprediksi sejak awal. Dampak dari konflik dengan Ukraina, yang tidak diantisipasi oleh Barat, justru meningkatkan dukungan terhadap Putin. Menurut survei yang dilakukan oleh Levada Center, sebuah lembaga independen yang didanai oleh Amerika Serikat pada awal 2023, tingkat persetujuan terhadap Putin mencapai 85 persen, mencatatkan level tertinggi dalam delapan tahun terakhir.

Angka tersebut merupakan lonjakan signifikan jika dibandingkan dengan sebelum konflik, yang hanya sekitar 71 persen. Tingkat persetujuan tertinggi sebelumnya terjadi ketika Rusia menganeksasi Crimea pada tahun 2014, yang mencapai 85,9 persen.

Dalam sejarahnya, Rusia telah menghadapi ancaman serius sebanyak dua kali. Pertama, saat Perang Dunia I, ketika tentara Napoleon berhasil mendekati Moskwa, namun akhirnya dipukul mundur karena cuaca yang sangat dingin dan kurangnya kesiapan tentara Perancis untuk perang berkepanjangan. Sekitar 1,5 juta tentara Rusia tewas dalam perang tersebut.


Kejadian kedua yang dimaksud adalah dalam Perang Dunia II, di mana tentara Hitler berhasil menguasai sebagian besar wilayah Rusia dan bahkan mengepung Moskwa. Namun, seperti kejadian dengan tentara Napoleon sebelumnya, tentara Hitler juga dipukul mundur. Sekitar separuh dari total korban jiwa Perang Dunia II, sekitar 27 juta orang, berasal dari Rusia. Hal ini menyebabkan sering muncul ungkapan bahwa "General Winter" telah memukul mundur Napoleon dan Hitler.

Pemerintah Rusia sering memanfaatkan kedua momen sejarah ini untuk membangkitkan nasionalisme di kalangan rakyatnya, dengan pesan bahwa jika rakyat bersatu, musuh akan kalah.

Dalam menghadapi Ukraina, pemerintah Rusia juga menggunakan narasi sejarah ini. Meskipun ada beberapa aksi dari pendukung Alexey Navalny, yang merupakan tokoh oposisi terkuat selama ini, aksi tersebut tidak dianggap terlalu membahayakan oleh pemerintah. Navalny baru-baru ini meninggal pada 16 Februari di sebuah penjara di daerah Arctic, dan meskipun popularitasnya tidak tinggi di Rusia, ia sering dicap sebagai agen asing.

Navalny lebih banyak mendapat dukungan dari Barat dan memiliki catatan kontroversial. Pada masa lalu, ia dianggap sebagai anggota kelompok ekstrem kanan yang anti-Muslim dan bahkan pernah mengusulkan pemotongan anggaran bagi negara-negara bagian dengan mayoritas penduduk Muslim.

Dalam perkembangannya, Alexey Navalny beralih fokus pada isu anti-korupsi dengan mendirikan Yayasan Anti-Korupsi. Dengan memanfaatkan media sosial, Navalny berhasil menarik perhatian kaum muda milenial dan terus melakukan aksinya dengan memanfaatkan platform tersebut.

Demonstrasi terbesar yang dipimpin oleh Navalny terjadi pada Januari 2021 di hampir semua negara bagian Rusia. Demonstrasi ini meluas dari Moskwa dan St. Petersburg hingga ke Vladivostok di ujung timur, bahkan di Pulau Sakhalin yang berbatasan dengan Jepang. Meskipun demonstrasi tersebut tidak mengancam kedudukan Putin secara langsung, hal tersebut cukup membuat gerah pemerintah. Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan undang-undang yang melarang LSM menerima pendanaan dari luar negeri. Orang Rusia umumnya takut dicap sebagai agen asing karena dianggap tidak nasionalis.

Sejak zaman Nicholas I (1825-1855), Rusia telah menganut doktrin ideologis tiga "sila": Ortodoksi, Autokrasi, Nasionalitas. Sejak Raja Vladimir yang Agung (958-1015), agama Ortodoks resmi dijadikan agama negara karena dipercayai dapat menyatukan Rusia dalam kedamaian. Prinsip ini menyatakan bahwa Rusia harus diperintah oleh seorang pemimpin yang kuat, meskipun otoriter, agar tetap bersatu, dan semangat nasionalisme sangat diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Putin dikenal sebagai pendukung doktrin tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa Mikhail Gorbachev, yang dihormati di Barat dan menerima Hadiah Nobel, tidak begitu dihargai di dalam negeri. Gorbachev dianggap sebagai pemimpin yang lemah yang bertanggung jawab atas keruntuhan Uni Soviet menjadi 15 negara.

Kemenangan Putin, meskipun mencalonkan diri sebagai calon independen, tidak lepas dari dukungan partai yang didirikannya, yaitu United Russia. Partai ini mirip dengan Golkar pada zaman Orde Baru (Orba). Saat ini, United Russia menguasai parlemen (Duma) dengan 334 kursi (72 persen), diikuti oleh Partai Komunis dengan 57 kursi (12,7 persen), Partai Rusia Adil dengan 28 kursi (6,2 persen), dan partai lainnya dengan jumlah kursi yang sangat kecil. Pemilihan umum parlemen berikutnya dijadwalkan akan diselenggarakan pada tahun 2026.

Menariknya, dukungan terhadap Partai Komunis menurun, hanya mendapat suara 4,3 persen dalam pemilu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa generasi baru di Rusia semakin menjauh dari ideologi komunis.

Banyak yang memprediksi bahwa Putin akan menjadi presiden seumur hidup. Sampai saat ini, Putin telah berkuasa selama 20 tahun, dan dengan hasil pemilu ini, ia akan terus berkuasa selama enam tahun lagi dan berpotensi mencalonkan diri untuk enam tahun berikutnya.

Seperti Soeharto pada masa pemerintahannya, saat ini tidak ada figur yang dapat menyaingi Putin. Beberapa nama yang dianggap bisa menjadi penerusnya termasuk para orang dekat seperti Dmitry Medvedev (58 tahun, mantan presiden dan perdana menteri), Nikolai Patrushev (73 tahun, Sekretaris Dewan Keamanan), Sergey Sobyanin (66 tahun, Wali Kota Moskwa), dan Sergei Shoigu (69 tahun, Menteri Pertahanan). Namun, mereka dianggap terlalu tua untuk maju dalam enam tahun ke depan.

Sebagai alternatif, muncul nama baru yaitu Aleksey Dyumin, Gubernur Tula, yang juga merupakan mantan bodyguard Putin yang berusia 52 tahun dan sangat dekat dengan Putin.

Soeharto jatuh dari kekuasaannya karena krisis ekonomi pada tahun 1998 yang diikuti oleh gerakan anti-Orba yang dipimpin oleh mahasiswa. Pertanyaannya, apakah Putin akan mengalami nasib yang sama. Agak sulit diperkirakan mengingat ekonomi Rusia sampai saat ini masih kuat, bahkan setelah menerima sanksi paling keras dari Barat.

Dalam pidato kemenangannya, Putin menyatakan bahwa ia akan menyelesaikan operasi khusus dan memperkuat kapasitas pertahanan serta Angkatan Bersenjata Rusia. Hal ini menunjukkan bahwa perang dengan Ukraina tidak akan mengendur dan akan segera dituntaskan. Putin merasa mendapat mandat dari rakyat Rusia untuk segera mengakhiri perang.

Posisi Putin semakin kuat di dalam negeri, dan ia tidak akan segan untuk mengambil "tindakan" terhadap siapa pun yang melawannya. Dia akan semakin tidak toleran terhadap aksi demonstrasi antipemerintah dan tidak ragu untuk memenjarakan para pengunjuk rasa.

Dalam konteks konflik Ukraina, Putin tidak akan mundur. Meskipun sampai saat ini Putin tidak memberikan kepastian kapan perang akan berakhir, tampaknya ia tidak memperhitungkan komitmen NATO untuk membela Ukraina hingga habis.

Sulit untuk memprediksi kapan perang akan berakhir. Menurut teori perang, perang akan berakhir jika salah satu pihak bangkrut secara ekonomi. Ukraina sebenarnya secara teori sudah bangkrut, tetapi berkat dukungan NATO, negara tersebut masih bertahan. Di sisi lain, sanksi yang diberlakukan oleh Barat terhadap Rusia ternyata tidak membuat Rusia bangkrut.

Bahkan, menurut perkiraan IMF, ekonomi Rusia akan tumbuh sebesar 2,6 persen tahun ini, menyusul pertumbuhan sebesar 2,25 persen pada tahun 2023. Menurut Statista Research Development, Rusia memiliki sumber daya alam terbesar di dunia senilai 75 triliun dolar AS, mengalahkan AS yang memiliki sumber daya sebesar 45 triliun dolar AS. Artinya, sangat tidak mungkin negeri yang kaya seperti Rusia akan bangkrut karena sanksi tersebut.

Negeri sekecil Korea Utara pun telah bertahan hingga saat ini meskipun menghadapi sanksi besar dari Barat. Ada kemungkinan terjadinya situasi "unfinished war" seperti yang terjadi di Semenanjung Korea, yang sampai saat ini masih berada dalam kondisi perang.

Diperkirakan bahwa politik luar negeri Rusia tidak akan mengalami perubahan yang signifikan. Karena memiliki "musuh bersama", hubungan dengan China akan tetap menjadi prioritas, meskipun dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Meskipun terdapat ketidakpercayaan budaya yang tinggi antara kedua negara tersebut, China menjadi mitra dagang terbesar Rusia dengan nilai perdagangan mencapai 240 miliar dolar AS pada tahun 2023. Kedua negara juga telah menandatangani perjanjian Local Currency Settlement (LCS) yang memungkinkan pembayaran perdagangan menggunakan mata uang masing-masing, mengurangi ketergantungan pada dolar AS.

Hubungan dengan negara-negara Barat kemungkinan akan tetap tegang selama masalah Ukraina belum diselesaikan dan diterima oleh kedua belah pihak. Putin dipastikan tidak akan mundur, terutama karena pemilu kali ini juga dilakukan di empat wilayah Ukraina yang diduduki. Sementara itu, NATO menghadapi kesulitan dalam memberikan bantuan kepada Ukraina karena munculnya isu bahwa sebagian senjata yang dikirim ke negara tersebut dijual ke pihak ketiga.

Hubungan antara Rusia dan Indonesia selalu dianggap penting oleh Rusia. Hubungan ini memiliki akar sejarah yang kuat, terutama di masa pemerintahan Soekarno dan Khrushchev, yang membawa Indonesia menjadi kekuatan militer terbesar di belahan selatan bumi berkat persenjataan dari Uni Soviet.

Dalam sejarahnya, Uni Soviet membantu Indonesia dengan persenjataan, termasuk kapal selam, terutama pada awal 1960-an ketika Indonesia mempertahankan kemerdekaannya, termasuk dalam konteks upaya merebut Irian Barat. Forum-forum internasional juga menjadi platform di mana Uni Soviet dan kemudian Rusia turut membantu Indonesia dalam mendukung posisinya. Perdagangan antara kedua negara terus meningkat, dengan rata-rata pertumbuhan 30-40 persen dan surplus di pihak Indonesia.

Ketika Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Rusia di Sochi pada Mei 2016, Presiden Jokowi mendapat perlakuan istimewa dari Presiden Putin, menunjukkan kedekatan hubungan bilateral yang kuat. Hal ini tercermin dari berbagai aspek, termasuk kunjungan bilateral dan pembukaan kantor Russia Today di Jakarta untuk meliput berita di wilayah ASEAN.

Kemenangan Putin dalam pemilihan presiden memberikan kepercayaan yang lebih besar kepadanya untuk melanjutkan politik konfrontasinya dengan Barat. Dukungan yang tinggi dari rakyat Rusia sebagian besar disebabkan oleh keberhasilan pemerintah dalam menanamkan indoktrinasi nasionalisme yang tinggi.

Masyarakat Rusia mengalami trauma dari masa pemerintahan Presiden Boris Yeltsin yang dianggap sangat liberal, di mana kekayaan dinikmati oleh segelintir kaum oligarki sementara sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan. Sementara itu, konflik antara Rusia dan Ukraina masih berlanjut tanpa kepastian kapan akan berakhir. Hal ini menunjukkan bahwa krisis ekonomi global masih menjadi tantangan yang harus dihadapi.

Oyeng Lohengrin



Yuk Bagikan :

Baca Juga