Konsolidasi Politik, Berujung pada Politik Kartel?

Senin, 25 Maret 2024 09:33 WIB | 188 kali
Konsolidasi Politik, Berujung pada Politik Kartel?

Prabowo dan Surya Paloh saat bertemu di NasDem Tower. Foto: ist

MARIKITABACA.ID – Kontestasi Pemilihan Presiden 2024 masih berlanjut. Dua pasangan calon presiden-wakil presiden, yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, masih memperkarakan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang menetapkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang suara terbanyak dalam pemilihan presiden, ke Mahkamah Konstitusi.

Meskipun demikian, kubu Prabowo-Gibran nampaknya tidak terlalu khawatir. Mereka telah mengambil berbagai langkah untuk mengonsolidasikan kekuatan politik mereka secara langsung. Stabilitas jalannya pemerintahan ke depan menjadi target utama, terutama dengan banyaknya program yang ingin diimplementasikan di tengah tantangan yang semakin berat bagi bangsa ini.

Tantangan yang dihadapi bangsa ke depan, seperti stagnasi pertumbuhan ekonomi, investasi yang belum efisien, dan ketimpangan sosial dan ekonomi, dibahas oleh sejumlah pengusaha dalam diskusi Kompas Collaboration Forum bertema "Arah dan Mesin Kebijakan Ekonomi Pembangunan 2025-2029" di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, pada Jumat (22/3/2024).

"Tantangan ke depan begitu berat. Kita memiliki pasar dan sumber daya yang besar. Tetapi, jika semua itu tidak dimanfaatkan dengan baik, saya rasa cita-cita kita untuk meningkatkan perekonomian Indonesia dan meningkatkan kesejahteraan bangsa ini akan sulit tercapai," ujar Anton J Supit, Komisaris Utama PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk.

Dalam pemahaman akan beratnya tantangan yang dihadapi, Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, yang turut hadir dalam diskusi tersebut, menekankan pentingnya stabilitas politik.

Menurutnya, stabilitas politik tidak hanya penting agar pemerintah dapat mengatasi setiap tantangan yang dihadapi, tetapi juga untuk memastikan bahwa program-program Prabowo-Gibran yang berfokus pada kelanjutan program pemerintahan Joko Widodo dapat terealisasi.

"Tanpa stabilitas, kelanjutan itu tidak mungkin terjadi," ucapnya.

Tidak mengherankan jika kemudian kubu Prabowo-Gibran mulai aktif mendekati partai politik (parpol) di kubu lawan, termasuk parpol pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud. Pada Jumat lalu, Prabowo bahkan bertemu dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, di Nasdem Tower, Jakarta. Nasdem merupakan salah satu parpol pendukung Anies-Muhaimin, bersama dengan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Keadilan Sejahtera.

Dalam pertemuan tersebut, Prabowo mengaku telah menawari Paloh untuk bergabung dalam pemerintahan selanjutnya. Paloh pun menyatakan bahwa kemungkinan tersebut ada.

Burhanuddin mengungkapkan bahwa Prabowo sedang berusaha mengakomodasi semua kepentingan, dengan tujuan agar semua pihak dapat turut serta dalam membangun bangsa. Kesepakatan tidak hanya dapat dilakukan dalam lingkup pemerintahan, tetapi juga melalui kerjasama di luar pemerintahan.

"Saya rasa, pemahaman mengenai demokrasi dapat berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa oposisi penting untuk menjamin adanya sistem cek dan keseimbangan. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut tidak perlu dilakukan. Sistem cek dan keseimbangan dapat dilakukan melalui cara lain, seperti menyampaikan pendapat atau kritik, tanpa perlu melakukan demonstrasi," ujarnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman, dalam kesempatan terpisah juga menyatakan bahwa pertemuan antara Prabowo dan Surya Paloh merupakan bagian dari implementasi politik merangkul yang telah disampaikan oleh Prabowo sejak beberapa lembaga penelitian mengumumkan keunggulannya dalam hitung cepat pada tanggal 14 Februari dalam pemilihan presiden.

"Yang paling penting adalah kita harus rukun. Pertengkaran yang terus-menerus tidak akan menghasilkan hal yang produktif. Padahal, masalah-masalah besar sedang menanti di depan kita," ujarnya.

Habiburokhman menilai bahwa saat ini tahapan Pemilihan Presiden 2024 hampir selesai. Sisanya hanya menunggu proses sengketa di Mahkamah Konstitusi. Prabowo juga tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Oleh karena itu, dia langsung menemui elit partai politik dari kubu lain.

"Pak Prabowo tidak ingin membuang-buang waktu. Dia ingin segera merangkul semua elemen bangsa ini. Mulai bulan Oktober nanti, semuanya akan segera dikerjakan dengan cepat," katanya.

Bahkan, tidak hanya Nasdem yang didatangi. Ada indikasi kuat bahwa Prabowo akan bertemu dengan pimpinan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), salah satu partai pendukung Ganjar-Mahfud, selain PDI-P. Hal ini diakui oleh elit PPP. Komunikasi informal antara petinggi partai telah terjalin, dan PPP hanya tinggal menunggu undangan untuk pertemuan tersebut.

"Kita boleh bersaing, boleh berkontestasi, tetapi tidak boleh ada dendam di antara kita. Setelah pemilu selesai, semua harus bersahabat. Semua harus membangun NKRI demi kemajuan bangsa," ujar Ketua Dewan Pimpinan Pusat PPP, Achmad Baidowi.

Upaya kubu Prabowo-Gibran untuk merangkul kekuatan politik lain juga dipengaruhi oleh konfigurasi penguasaan kursi di parlemen yang diperkirakan tidak sepenuhnya dikuasai oleh partai pendukungnya.

Koalisi Indonesia Maju, yang mendukung Prabowo-Gibran (Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN), diperkirakan hanya memiliki 280 kursi di DPR. Sementara itu, diperkirakan kubu partai yang pada pemilihan presiden sebelumnya menjadi lawan politik Prabowo-Gibran (PDI-P, Nasdem, PKB, dan PKS) memiliki sekitar 300 kursi di DPR.

Meskipun demikian, langkah konsolidasi politik yang dilakukan oleh kubu Prabowo-Gibran mendapat kritik dari peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor. Menurutnya, langkah-langkah tersebut tidak dilakukan demi kepentingan bangsa, melainkan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan.

Firman mengacu pada momen ketika Jokowi merangkul Prabowo, lawan politiknya dalam Pemilihan Presiden 2019, untuk masuk ke dalam barisan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Langkah tersebut semakin memperkuat kekuatan koalisi pemerintahan di parlemen.

Implikasinya, apa pun arahan dari Istana, termasuk rancangan undang-undang (RUU) dari pemerintah, meskipun menuai penolakan dari publik, tetap akan lancar dibahas di parlemen. Contohnya adalah persetujuan pengesahan RUU Ibu Kota Negara dan RUU Cipta Kerja.

"Jika kita melihat sejarah, ini merupakan hal yang mengkhawatirkan. Karena hal ini berpotensi memuluskan segala manuver dan keinginan politik dari penguasa semata. Hal ini terlihat lebih seperti memanfaatkan kekuatan lawan untuk mendukung agenda politik mereka sendiri," ujar Firman.

Padahal, dalam konteks demokrasi, hal yang wajar adalah pemenang menjadi penguasa, sementara yang kalah berada di luar pemerintahan. Hal ini sejalan dengan prinsip saling kontrol (check and balances) dalam proses pembuatan kebijakan, yang penting dalam sebuah sistem demokratis, bukanlah pembentukan semacam politik kartel (Katz dan Mair, 1995).

"Jadi, jika semua pihak terlibat, dan semua mendapatkan bagian dan peran, maka terbentuklah satu kekuatan politik yang eksklusif, yang tidak terkena kritik. Namun, disayangkan bahwa mentalitas dan komitmen terhadap demokrasi dari partai politik masih belum cukup kuat, sehingga mereka cenderung menerima tawaran untuk dilibatkan. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa ini bukanlah demi kepentingan bangsa, tetapi demi efektivitas pemeliharaan kekuasaan," ujar Firman.

Oyeng Lohengrin



Yuk Bagikan :

Baca Juga