ilustrasi sosial media. Foto: net
Penulis: Oyeng Lohengrin
PEMILU 2024 telah berakhir. Meskipun kesimpulan akhirnya masih menunggu proses gugatan di Mahkamah Konstitusi, satu hal yang bisa langsung dilihat adalah peran yang semakin dominan dari media sosial dalam arena politik yang besar ini.
Penggunaan media sosial sebagai alat kampanye oleh para calon dan partai politik bukanlah hal baru. Setidaknya, hal ini sudah terasa sejak Pemilu Presiden 2014, seiring dengan berkembangnya media sosial di Indonesia. Namun, tren dari pemilihan ke pemilihan menunjukkan bahwa peran media sosial semakin signifikan.
Pada Pemilu 2024, lini masa media sosial telah didominasi oleh iklan dan konten politik berbulan-bulan sebelum hari pencoblosan pada 14 Februari. Facebook, Instagram, TikTok, Twitter (sekarang menjadi X), YouTube, bahkan grup WhatsApp keluarga pun tidak luput dari konten semacam ini.
Konten-konten tersebut tidak hanya dibuat oleh tim sukses atau pihak yang terkait dengan kandidat, tetapi juga oleh warganet secara sukarela. Rasanya hampir tidak mungkin bagi warganet untuk tidak terpapar oleh konten politik sepanjang masa kampanye pemilu lalu.
Kemampuan media sosial dalam mencapai pemilih secara luas membuatnya menjadi sangat strategis bagi politisi. Kemenangan pasangan calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka juga banyak disebut-sebut oleh banyak pihak tidak terlepas dari peran media sosial.
Arga Pribadi Imawan, seorang Dosen Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), yakin bahwa dalam pemilihan-pemilihan mendatang, peran media sosial akan semakin dominan sebagai sarana kampanye. Arga telah mendalami kajian demokrasi di era digital.
"Apalagi, pengguna media sosial di Indonesia termasuk yang besar di dunia," ujar Arga dalam diskusi Pojok Bulaksumur di Kampus UGM, Yogyakarta, pada Jumat (22/3/2024) sore.
Data dari We Are Social juga mendukung pandangan tersebut. We Are Social adalah perusahaan internasional yang menyediakan layanan manajemen media sosial.
Berdasarkan laporan We Are Social per Januari 2024, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 49,9 persen dari total populasi. Rata-rata waktu yang dihabiskan oleh orang Indonesia untuk menggunakan media sosial adalah 3 jam 11 menit per hari. Angka ini jauh di atas rata-rata global yang hanya mencapai 2 jam 23 menit.
Survei Litbang Kompas yang dilakukan pada periode 29 November-4 Desember 2023 juga menunjukkan tingginya penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia untuk mengakses informasi terkait pemilu.
Sebanyak 29,4 persen dari responden menyatakan bahwa mereka mengakses media sosial untuk melihat atau membaca konten terkait pemilu paling tidak beberapa kali dalam seminggu. Sementara itu, 11 persen responden lainnya menyatakan bahwa mereka mengonsumsi konten terkait pemilu di media sosial setidaknya sekali dalam sehari.
Selain menjadi sumber informasi, konsumsi konten di media sosial juga dapat memengaruhi pilihan masyarakat. Secara umum, sekitar sepertiga dari masyarakat mengakui bahwa informasi yang mereka peroleh melalui media sosial menjadi faktor penentu dalam menentukan pilihan mereka, bahkan dapat mengubah pilihan mereka (Kompas.id, 14/12/2023).
Lebih lanjut, Arga menjelaskan bahwa memfokuskan kampanye di media sosial akan sangat efektif bagi para calon untuk memengaruhi orang lain secara langsung maupun tidak langsung. "Dalam konteks media sosial, politik beroperasi dalam ranah bahasa dan visual untuk menarik pemilih," ucapnya.
Bahasa dan visual menjadi kunci dalam memenangkan hati pemilih di media sosial. Menurut Arga, penggunaan bahasa yang mudah dipahami bersama dengan visual yang menarik akan mampu menarik perhatian warga.
Apalagi, tambahnya, dalam konteks pemilihan presiden, tren dari tahun 2004 hingga 2024 menunjukkan bahwa mayoritas perilaku pemilih lebih menekankan aspek psikologis dari calon daripada aspek sosiologis dan ekonomisnya. Ini berarti, karakter dan pengalaman calon memiliki dampak yang lebih besar pada pemilih daripada program-program yang mereka tawarkan.
Media sosial juga memudahkan bagi calon dan partai politik karena fitur-fiturnya memungkinkan mereka untuk berkampanye secara otomatis. Satu unggahan konten dapat dengan cepat didistribusikan dan diperbanyak oleh akun-akun lain, sehingga pesan-pesan kampanye menjadi lebih mudah tersebar luas.
Mengingat peran media sosial dalam kampanye politik yang semakin besar di masa depan, Arga mendorong penyelenggara pemilu untuk mengaturnya dengan lebih detail dan ketat. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kurang memberikan perhatian yang cukup terhadap hal tersebut.
Arga menekankan bahwa konten politik yang tersebar di media sosial seringkali bersifat merusak, seperti hoaks, disinformasi, dan unggahan yang bertujuan untuk mendiskreditkan calon lain. Hal-hal ini berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Oleh karena itu, perlunya pengaturan yang lebih ketat untuk mengendalikan penyebaran konten yang merugikan tersebut.
Dalam aspek lain, transparansi terkait pendanaan kampanye melalui media sosial juga sangat penting. Menurut Rijadh Djatu Winardi, seorang dosen Ekonomi dari UGM yang mendalami akuntansi forensik, ada kebutuhan untuk pengaturan yang lebih jelas dalam hal ini.
Dia menjelaskan bahwa format pelaporan dana kampanye saat ini kurang rinci, hanya berisi jumlah pendapatan dan pengeluaran secara agregat. "Hal ini membuat publik sulit untuk melihat detail pengeluaran tertentu, termasuk dana yang digunakan untuk kampanye di media sosial," ujarnya.
Pengaturan dan pengawasan yang lebih ketat menjadi kunci agar media sosial tidak menjadi ancaman bagi demokrasi kita.