Timah di Bangka Belitung: Antara Kontribusi dan Korupsi

Jum'at, 05 April 2024 13:08 WIB | 329 kali
Timah di Bangka Belitung: Antara Kontribusi dan Korupsi

Matahari Terbenam di Jembatan Emas Kepulauan Bangka Belitung / Foto: Oyeng

MARIKITABACA.ID - Bisnis tidak bermoral yang memicu korupsi dalam perdagangan timah di Bangka Belitung secara signifikan tidak sebanding dengan kontribusi ekonomi dari sektor pertambangan di provinsi tersebut. Diperkirakan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah, sementara kontribusi sektor ekstraktif dan industri pengolahannya terhadap daerah hanya sekitar 18 kali lebih kecil dari dampak negatif yang dihasilkannya.

PT Timah (Persero) Tbk, sebuah Badan Usaha Milik Negara yang bertanggung jawab atas aktivitas ekstraksi hingga pengolahan timah di Indonesia, menarik perhatian yang tajam terkait tindakan penipuan yang merugikan negara. Terdapat individu dalam perusahaan pelat merah tersebut yang memfasilitasi praktik penambangan ilegal di area yang seharusnya tercakup dalam izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk 2015-2022 di Provinsi Bangka Belitung.

Dampaknya, negara harus menanggung akumulasi kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 271 triliun. Nilai ini meliputi kerugian akibat kerusakan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan yang terkena dampak. Selain mengancam lingkungan pertambangan itu sendiri, kegiatan ilegal tersebut juga berpotensi menimbulkan kerusakan bagi ekosistem di luar wilayah pertambangan.

Menurut Bambang Hero Sarjono, seorang ahli dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang menjadi saksi dalam penyelidikan, kerugian negara sebesar Rp 271 triliun itu berasal dari beberapa sumber. Kerusakan lingkungan (ekologis) diperkirakan mencapai Rp 157,83 triliun; kerugian ekonomi lingkungan sekitar Rp 60,28 triliun; biaya rehabilitasi lingkungan sebesar Rp 5,26 triliun; dan kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47,70 triliun.

Penghitungan kerugian tersebut mengikuti ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Ini berarti bahwa biaya kerugian mencakup alokasi dana untuk memulihkan fungsi tata air, mengatur tata air, mengendalikan erosi dan limpahan, merehabilitasi tanah, mendaur ulang unsur hara, memperbaiki fungsi pengurai limbah, menjaga keanekaragaman hayati, melestarikan sumber daya genetik, serta mengatasi pelepasan karbon (Kompas.id, 1/4/2024).

Perkiraan kerugian lingkungan akibat praktik tidak bermoral tersebut sangat tidak sebanding dengan nilai ekonomi dari industri pertambangan timah di Bangka Belitung. Sebagai provinsi penghasil timah terbesar di Indonesia, kontribusi dari sektor pertambangan dan penggalian hanya mencapai sekitar Rp 7,7 triliun per tahun. Dalam periode 2015-2023, sektor ekstraktif ini rata-rata menyumbang sekitar 10 persen per tahun terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangka Belitung.

Namun, kontribusi sektor pertambangan terus menurun seiring dengan meningkatnya kontribusi sektor lainnya. Pada tahun 2023, kontribusi sektor pertambangan hanya mencapai 7,64 persen, merupakan yang terendah sejak tahun 2015. Sumbangan dari sektor ekstraktif ini berada di posisi keempat dalam PDRB Bangka Belitung setelah sektor industri pengolahan, pertanian, dan perdagangan.

Sektor pertambangan di provinsi ini terdiri dari beberapa subsektor kegiatan, termasuk pertambangan migas dan panas bumi, pertambangan biji logam, serta pertambangan dan penggalian lainnya. Sebagian besar usaha pertambangan, lebih dari 90 persen, didominasi oleh pertambangan biji logam dan pertambangan lainnya yang berhubungan dengan potensi sumber daya alam timah yang melimpah di Bangka Belitung. Dengan demikian, secara tidak langsung, timah menjadi salah satu pilar utama dalam menghidupkan perekonomian Bangka Belitung.

Potensi pertambangan ini juga mendorong pertumbuhan industri pengolahan di Bangka Belitung. Dalam periode 2015-2023, sekitar 48 persen kontribusi ekonomi dari industri manufaktur di provinsi ini berasal dari industri logam dasar. Setiap tahun, industri ini menyumbang sekitar Rp 7,6 triliun bagi perekonomian Bangka Belitung.

Apabila kita mengakumulasikan antara usaha pertambangan dan industri pengolahan logam dasar, setiap tahunnya nilai kontribusinya berada dalam kisaran Rp 15 triliun. Ada kemungkinan bahwa nilai kontribusi ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan nilai tambah industri pengolahan logam yang semakin besar. Peningkatan ini akan sejalan dengan kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua usaha pertambangan untuk melakukan proses pemurnian di dalam negeri sebelum hasilnya diekspor ke luar negeri.

Dalam kerangka Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara serta amendemen terhadapnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, disebutkan bahwa setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) diwajibkan untuk melakukan proses pengolahan dan pemurnian hasil tambang di dalam negeri. Kebijakan ini diharapkan memberikan manfaat bagi daerah-daerah yang memiliki potensi sumber daya alam tambang yang melimpah. Selain menciptakan lapangan kerja baru, baik di sektor pertambangan ekstraktif maupun industri pengolahannya.

Lebih lanjut, dalam Undang-Undang No 3/2020 juga diatur bahwa pemerintah akan memberikan izin operasi produksi mineral logam yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan atau pemurniannya dengan jangka waktu hingga 30 tahun. Selain itu, perpanjangan izin akan dijamin setiap 10 tahun setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Regulasi ini diharapkan akan menarik banyak investor untuk melakukan operasi produksi serta mengembangkan industri pemurnian dan pengolahan. Dengan demikian, akan tercipta lebih banyak nilai tambah dari industri tersebut yang akan berdampak positif pada kemajuan ekonomi.

Estimasi kerugian akibat praktik tidak bermoral dalam tata niaga timah, yang mencapai sekitar Rp 271 triliun, sangat tidak sebanding dengan kontribusi nilai ekonomi dari industri pertambangan timah terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Bangka Belitung yang hanya sekitar Rp 15 triliun per tahun. Valuasi kerugian lingkungan ini secara umum mencapai 18 kali lebih besar daripada sumbangan ekonominya bagi daerah. Ini merupakan ironi yang mencolok.

Kemegahan harta yang dimiliki oleh beberapa tersangka dalam kasus korupsi tata niaga timah tersebut sangat bertentangan dengan kondisi nyata para pekerja pertambangan di Bangka Belitung. Sementara para tersangka mampu membeli mobil mewah, berlibur dengan biaya tinggi, bahkan memiliki jet pribadi, kondisi para pekerja tambang justru sangat berbeda. Data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Dalam Angka 2023 menunjukkan bahwa rata-rata upah atau gaji pekerja di sektor pertambangan-penggalian, industri pengolahan, dan sejenisnya hanya sekitar Rp 3,3 juta per bulan.

Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata penghasilan pekerja formal di Provinsi Bangka Belitung yang mencapai sekitar Rp 3,45 juta per bulan. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kesejahteraan para pekerja tambang di provinsi tersebut relatif rendah jika dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Kondisi rendahnya tingkat penghasilan ini disebabkan oleh banyaknya jumlah pekerja tambang yang berada dalam kondisi padat karya, mencapai sekitar 3,2 juta orang atau sekitar 16 persen dari jumlah pekerja di Bangka Belitung. Jumlah ini belum termasuk pekerja di sektor industri pengolahan logam hasil tambang yang juga cukup signifikan.

Terungkapnya kasus tata niaga timah di Bangka Belitung seolah-olah menunjukkan betapa rusaknya tata kelola di institusi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bersangkutan. Kurangnya pengawasan dan pengabaian terhadap prosedur yang ditetapkan telah memudahkan oknum-oknum tertentu untuk mengambil alih kendali, yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada keberlanjutan usaha timah yang berwawasan lingkungan.

Meskipun demikian, secara global, PT Timah tetap dikenal sebagai salah satu dari 10 produsen timah olahan terbesar di dunia. Menurut laporan International Tin Association, pada tahun 2023, PT Timah menempati peringkat kelima dunia dengan jumlah produksi mencapai 15.300 ton. Dengan potensi sumber daya yang sangat besar, produksi timah di Bangka Belitung masih memiliki potensi untuk terus ditingkatkan.

Berdasarkan informasi dari laman babelprov.go.id, sumber daya timah di Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2021 mencapai 2,18 juta ton dengan cadangan yang diperkirakan mencapai 1,97 juta ton. Dengan potensi ini, Bangka Belitung diakui sebagai wilayah penghasil timah terbesar di Indonesia dan juga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia. Sekitar 80 persen dari total komoditas ekspor Bangka Belitung setiap tahunnya adalah komoditas timah, dengan nilai ekspor yang melebihi 2 miliar dolar AS.

Meski keunggulan sumber daya timah ini masih dapat dioptimalkan lebih lanjut, hal tersebut harus dilakukan dengan mematuhi standar kegiatan pertambangan yang profesional dan dengan mengutamakan prinsip kelestarian lingkungan. Namun, jika dikelola oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, hal ini dapat berdampak buruk pada lingkungan. Konsekuensi dari dampak negatif ini akan dirasakan oleh masyarakat Bangka Belitung dalam jangka panjang.

Oyeng Lohengrin



Yuk Bagikan :

Baca Juga