Oleh: Alifah Oktavirgianti | Mahasiswi Prodi Ilmu Hukum Universitas Pertiba
KASUS dugaan korupsi Tata Niaga komoditas timah wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT TIMAH Tbk untuk tahun 2015-2022 yang sampai saat tulisan ini dibuat melibatkan 21 tersangka, sederhananya adalah kasus tersebut berupa kerja sama pengelolaan lahan PT Timah Tbk dengan pihak swasta yang dilakukan secara ilegal. Hasil pengelolaan tersebut pun dijual kembali kepada PT Timah Tbk sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.
Kejaksaan RI menjadi aktor penegak hukum di balik pengungkapan kasus tersebut adapun beberapa nama tersangka yang menjadi sorotan ialah Harvey Moeis (suami dari aktris Sandra Dewi), crazy rizh Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, serta tersangka baru salah satunya pendiri maskapai nasional Hendrie Lie.
Tetapi yang perlu penulis paparkan bahwa nilai Rp 271 triliun itu merupakan bentuk kerugian secara ekologis dari tambang ilegal, jadi bukan hasil perhitungan adanya tindak pidana korupsi, angka tersebut muncul merupakan hasil kalkulasi kerugian kerusakan yang dialami negara akibatkan tambang ilegal.
Sehubungan dengan penghitungan kerugian alam sebesar Rp 271 T dilakukan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup. Biaya kerugian tersebut meliputi dana untuk menghidupkan fungsi tata air, pengaturan tata air, pengendalian erosi dan limpasan, pembentukan tanah, pendaur ulang unsur hara, fungsi pengurai limbah, biodiversitas (keanekaragaman hayati), sumber daya genetik, dan pelepasan karbon.
Kasus timah sepanjang 2015-2022 telah menyebabkan kerugian Rp 271 T. Jumlah itu terdiri dari kerugian lingkungan (ekologis) Rp 157 T, kerugian ekonomi lingkungan Rp 60 T, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5 T. Selain itu, ada pula kerugian di luar kawasan hutan sekitar Rp 47 T.
Sebelum menghitung kerugian lingkungan, aturan mensyaratkan lokasi tambang timah harus dalam kondisi rusak. Saat verifikasi lapangan di daerah pertambangan timah di Bangka, kata Bambang, hasil analisis sampel di laboratorium menunjukkan lokasi tambang telah rusak sehingga penghitungan kerugian baru bisa dilakukan, data berupa letak, luas, hingga koordinat dari lokasi tambang milik perusahaan didapatkan saksi ahli lingkungan dari penyidik. Dengan bekal itu, tim ahli merekonstruksi kejadian pada tahun 2015-2022 menggunakan bantuan citra satelit untuk memantau luas bukaan tambang serta arah pergerakan lokasi tambangnya.
Untuk memastikan tambang yang dibuka perusahaan masuk dalam kawasan hutan, tim ahli menggunakan data tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hasilnya, ditemukan lokasi tambang yang berada di kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, taman hutan raya, dan taman nasional.
Total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung sekitar 170.363.064 hektar. Namun, luas galian yang memiliki izin usaha tambang atau IUP hanya 88.900,462 hektare. "Dan dari luasan yang 170 ribu (hektare) ini ternyata yang memiliki IUP itu hanya 88.900,661 hektare, dan yang non-IUP itu 81.462,602 hektare," angka ini bukanlah angka kerugian negara yang timbul dalam kasus ini, melainkan angka awal sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 1 di Permen LH 7/2014.
Sedangkan terkait penghitungan kerugian negara sebagaimana informasi yang penulis dapatkan justru “masih dihitung”oleh Kejagung RI, sehingga penulis berpendapat jangan sampai masyarakat mendapatkan informasi yang salah serta melakukan stigma bahwa nilai 271 Triliun itu hasil tindak pidana, padahal hal itu justru keliru.