Foto: dok NASA
JAKARTA, MARIKITABACA.ID - Sekelompok peneliti mengaku menemukan semesta lain. Semesta atau dimensi lain tersebut ditandai oleh objek yang oleh ahli fisika disebut sebagai dark matter atau materi gelap.
Ahli astrofisika dari Flatiron Institute, Paul Sutter menemukan sebuah laporan penelitian yang menawarkan penjelasan baru tentang dark matter. Menurut karya ilmiah tersebut, dark matter berada di semesta cermin "rusak" yang berada di dalam semesta kita.
Para ahli fisika percaya bahwa dark matter merupakan "bagian besar" dari alam semesta. Namun, material ini sampai sekarang belum terdeteksi. Satu satunya bukti kehadiran dark matter adalah efek gravitasi yang terdeteksi di "materi biasa."
Dalam penelitian yang ditemukan Sutter, para ahli fisika berteori bahwa ada semesta bayangan tempat neutron dan proton tidak membentuk simetri dalam massa. Artinya, seluruh semesta terdiri dari campuran partikel subatom yang tidak berinteraksi. Kondisi ini merupakan penjelasan dari sifat dark matter, yaitu tidak menggumpal.
Menurut Sutter, para peneliti membangun teori mereka dari dua kebetulan. Pertama, observasi bahwa jumlah materi biasa (regular matter) dan materi gelap di alam semesta cenderung setara. Setiap 1 kilogram materi biasa, ada 5 kilogram materi gelap.
Porsi setara antara materi biasa dan materi gelap ini, menurut para peneliti, menunjukkan ada sebuah hubungan tersembunyi antara keduanya. Mereka kemudian berteori bahwa setiap interaksi fisika di materi biasa, ada interaksi serupa di semesta materi gelap.
Kedua, neutron dan proton punya massa yang sama, sehingga mereka bisa membentuk atom yang stabil. Atom ini adalah pembentuk semua objek di alam semesta, mulai dari bintang hingga tubuh manusia.
Para peneliti menduga ada sebuah semesta tempat proton dan neutron tidak memiliki massa yang sama. Dampaknya, mereka tidak pernah membentuk sebuah atom yang stabil sehingga semesta tersebut "berantakan" dan hanya terdiri dari sekelompok neutron.
Namun, Futurism menyatakan bahwa karya ilmiah yang diungkapkan oleh Sutton belum melalui proses peer review meskipun penulisnya berasal dari institusi ternama seperti Fermilab dan University of Chicago.
(dem/dem)