Ilustrasi. Serangan berulang harimau Sumatera di Lampung memicu ketegangan. (Foto: AFP/WAHYUDI)
JAKARTA, MARIKITABACA.ID -- Konflik antara harimau Sumatera dan manusia di Lampung Barat semakin memanas setelah terjadi serangan baru-baru ini yang menyebabkan seorang warga menjadi korban.
Kejadian tersebut memicu kemarahan dari ratusan warga di Kecamatan Bandar Negeri Suoh, Lampung Barat, yang akhirnya berujung pada pembakaran Kantor Balai Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA) Resort Suoh Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada Senin (11/3) sore.
Berdasarkan laporan dari Antara, harimau Sumatera yang berada di kawasan TNBBS menyerang seorang warga bernama Samanan (41) dari Pekon (Desa) Sukamarga, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat.
Insiden ini menjadi penyerangan ketiga dalam beberapa bulan terakhir, setelah dua warga tewas akibat serangan harimau Sumatera pada Februari lalu. Kedua korban ditemukan pada tanggal 8 Februari dan 22 Februari.
Meskipun Satgas Lembah Suoh telah berusaha untuk menangkap harimau tersebut dengan memasang kandang jebak di dua titik lokasi, namun upaya tersebut belum membuahkan hasil dan serangan baru terus terjadi.
Mengapa Harimau Menyerang Manusia?
Ahli konservasi keanekaragaman hayati dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Hendra Gunawan, menjelaskan bahwa peningkatan konflik antara satwa dan manusia disebabkan oleh kompetisi atas ruang dan sumber daya, seperti makanan.
Satwa besar memerlukan habitat yang luas, namun pertemuan dengan manusia yang juga membutuhkan dan menggunakan ruang yang sama, yaitu hutan, menciptakan persaingan tersebut. Faktanya, hutan adalah habitat asli bagi harimau Sumatera.
"Jika sumber daya makanan satwa berkurang, misalnya karena aktivitas perburuan, maka akan terjadi persaingan antara satwa dan manusia untuk mendapatkan makanan. Ketika makanan dalam habitat alami mereka berkurang, satwa akan mencari makan di area yang lebih dekat dengan manusia, seperti kebun atau bahkan permukiman," ungkap Hendra kepada CNNIndonesia.com pada Rabu (13/3).
Hendra menduga bahwa peningkatan konflik ini disebabkan oleh menyempitnya ruang habitat harimau Sumatera dan jumlah makanan yang semakin berkurang di alam.
Selain itu, peningkatan populasi harimau yang tidak seimbang dengan luas habitatnya juga merupakan faktor lain yang mungkin memperburuk situasi.
Menurut laporan dari Science Direct, harimau Sumatera adalah fauna endemik yang mendiami hutan hujan tropis di Pulau Sumatera, Indonesia. Spesies ini adalah satu-satunya yang tersisa di Indonesia setelah kepunahan harimau Jawa dan harimau Bali.
Hendra juga menyoroti pentingnya fragmentasi habitat dalam kasus konflik satwa-manusia. Fragmentasi habitat terjadi ketika habitat hutan yang luas terpecah menjadi potongan kecil yang terpisah, disebabkan oleh berbagai aktivitas manusia seperti pembangunan infrastruktur dan perambahan hutan untuk kepentingan lainnya.
Solusi
Hendra menegaskan bahwa solusi untuk konflik semacam ini haruslah komprehensif dan terintegrasi.
Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain adalah memperluas habitat dengan menetapkan kawasan konservasi baru atau merestorasi habitat yang telah rusak. Hal ini juga mencakup meningkatkan populasi mangsa dari harimau Sumatera.
Pengendalian populasi juga merupakan langkah yang penting. Populasi satwa harus dikendalikan sesuai dengan kapasitas habitatnya, dengan mengecilkan populasi yang berlebihan dan memindahkan sebagian ke daerah lain yang lebih luas atau mengintroduksi kembali ke habitat alami mereka.
Hendra juga menekankan perlunya pembuatan koridor penghubung untuk menghubungkan fragmen habitat yang terpisah, sehingga satwa dapat berpindah dengan aman antara area habitat mereka.
"Jika populasi satwa seimbang dengan kapasitas habitatnya, maka konflik dapat diminimalkan," tambah Hendra.
Sumber: CNN Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/)