Amir Machmud dikenal karena disebut-sebut menjadi saksi mata penandatangan dokumen Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), sebuah dokumen bersejarah yang menandai serah terima kekuasaan Presiden dari Soekarno ke Soeharto. Amir Machmud lahir pada 21 Februari 1923 di Cimahi, Jawa Barat. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara dan ayahnya bekerja untuk sebuah perusahaan publik di bawah Pemerintah Kolonial Belanda. Namun belakangan dokumen asli Supersemar tersebut sampai hari ini keberadaannya masih menjadi misteri.
Semua dimulai pada 11 Maret tahun 1966. Soekarno secara mendadak menggelar Rapat Kabinet dan mengundang Amir Machmud untuk hadir dalam rapat tersebut. Singkatnya, pada tanggal 11 Maret, Soekarno dikabarkan menerbitkan Dekrit Presiden. Pada senja hari, dekrit yang kini dikenal sebagai Supersemar itu tinggal ditandatangi sendiri oleh Soekarno.
Pada saat itu, Soekarno sempat merasa ragu untuk mengukuhkan keputusan tersebut. Akan tetapi, ketiga jenderal meyakinkan Soekarno bahwa keputusan itu merupakan langkah paling tepat. Pada akhirnya, Soekarno menyerah, ia menandaangani dan menyerahkan Supersemar kepada ketiga jenderal. Dekrit tersebut lalu dibawa oleh Basuki yang kemudian diteruskan kepada Soeharto.
Dalam perjalana ke Jakarta, Amir Machmud diminta membaca kembali isi Supersemar. Amir Machmud mengaku terkejut membaca isinya, dimana disebutkan bahwa Soekarno memindah tangan kekuasaannya pada Soeharto. Dia kemudian mempercayai bahwa keputusan Soekarno dalam Supersemar merupakan sebuah keajaiban.
Melihat seperti apa Soeharto melakukan pengamanan, tanggal 13 Maret 1966, Soekarno marah besar mengatahui Soeharto melarang Partai Komunis Indonesia. Ia kembali memanggil Amir Machmud, Basuki, dan Jusuf, ketiga jenderal saksi pembuatan Supersemar. Soekarno memanggil mereka dengan perintah untuk membuat surat penjelas mengenai isi Supersemar. Akan tetapi, dari ketiga jenderal yang dipanggilnya tak ada satupun yang hadir ke hadapannya.
Soekarno kecewa, namun ia telah memutuskan. Ketika Soeharto menggantikan posisinya, kedudukan Amir Machmud sebagai Panglima Kodam V/Jaya tak digantikan. Sementara Basuki Rachmat pada awal tahun 1969, diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri namun kemudian meninggal secara mendadak. Posisi itu kemudian diisi oleh Amir Machmud.
Selama menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud memiliki reputasi sebagai “penyapu” oposisi dan pembangkang pemerintah. Ia mengembangkan hal tersebut sampai ke daerah hingga mendapat julukan sebagai "Buldoser". Cara Amir Machmud menangani orang-orang yang masuk penjara juga amat keras. Ia menduga orang-orang yang masuk penjara terlibat dengan PKI. Tahun 1981, ia bahkan memerintahkan agar para narapidana mendapatkan pengawasan secara khusus.
Pengaruh Amir Machmud tak berhenti sampai di sana saja, tahun 1971, Amir Machmud mengambil peran penting dalam pembentukan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). Karirnya di birokrasi memperlihatkan kekuasaan yang tinggi. Amir Machmud terpilih menjadi ketua MPR pada tahun 1982. Pada saat itu, ketua MPR juga merangkap sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Maka sudah pasti, kedua lembaga krusial negara itu menjadi satu tubuh dengan pemikiran Amir Machmud.
Ketika Sidang Umum MPR 1983 berlangsung, di bawah kepemimpinan Amir Machmud, sidang menghasilkan keputusan Soeharto menjadi preisden keempat kalinya. Diputuskan pula, Umar Wirahadikusumah menjadi Wakil Presiden. Di bawah kepemimpinan Amir Machmud, MPR memutuskan memberi anugerah kepada Soeharto dengan gelar "Bapak Pembangunan.” Gelar tersebut diberikan berdasarkan pada kinerja pembanguann yang berhasil dikembangkan sekaligus dikontrol Presiden Soeharto saat itu.
Menjadi ketua MPR dan DPR ternyata merupakan jabatan terakhir Amir Machmud semasa hidupnya. Ia meninggal pada tanggal 21 April 1995. Ia meninggalkan seorang istri dan dua orang anak. Jenderal bintang empat ini juga telah memiliki sepuluh orang cucu sebelum meninggal. (tirto)
Karir